BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadits
diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai sumber kedua ajaran agama Islam
setelah al-Qur'an. Keyakinan ini mengharuskan umat Islam menjadikan hadits
sebagai pedoman hidup, karena ia juga merupakan tuntunan Allah. Sebagai salah
satu sumber ajaran Islam, secara prinsip hadits tidak mungkin bertentangan
dengan dalil lain, baik dengan sesama hadits, sebab kebenaran tidak akan
bertentangan dengan kebenaran. Seandainya ada pertentangan, maka hal itu hanya
tampak di luarnya saja. Berangkat dari prinsip ini, maka timbul upaya para
ulama untuk menyelesaikan persoalan ketika mendapati teks-teks hadits yang
tampak bertentangan. Hadits-hadits yang tampak bertentangan ini biasa disebut
dengan istilah Ikhtilaf atau Mukhtalif al-Hadis.
Dengan demikian, ilmu ini akan membahas hadits-hadits yang secara lahiriah bertentangan, namun ada kemungkinan yang dapat diterima dengan syarat. Mungkin dengan cara membatasi kemutlakan atau keumumannya dan lainnya yang bisa disebut sebagai talfiqal-hadits.
Dengan demikian, ilmu ini akan membahas hadits-hadits yang secara lahiriah bertentangan, namun ada kemungkinan yang dapat diterima dengan syarat. Mungkin dengan cara membatasi kemutlakan atau keumumannya dan lainnya yang bisa disebut sebagai talfiqal-hadits.
Imam
An-Nawawi berkata dalam at-taqrib: “Ini adalah salah satu ilmu dirayah yang
terpenting. Semua ulama dari berbagai golongan perlu mengetahuinya. Ilmu
Mukhtalif Al-Hadits ini telah mendapat perhatian serius sejak masa sahabat,
yang menjadi rujukan utama segala persoalan setelah Rasulullah. Kajian tentang
hadits-hadits yang bertentangan ini merupakan hal yang sangat penting bagi para
pengkaji hadis. Tidak ada yang mahir dalam bidang ini, kecuali imam hadits yang tajam analisisnya.
Berbagai hadits yang mukhtalif telah dihimpun oleh ulama dalam kitab-kitab khusus. Sejarah mencatat bahwa ulama yang mempelopori kegiatan penghimpunan itu adalah Imam al-Syafi`i dengan karyanya Ikhtilaf al-Hadis. Disusul kemudian oleh Ibn Qutaibah dengan kitabnya Ta'wil Mukhtalif al-Hadis. Lalu al-Thahawi dengan judul kitabnya Musykil al-Asar, kemudian Ibnu Khuzaimah,Ibn Jarir dan Ibn al-Jauzi. Para ulama sependapat bahwa hadits-hadits yang tampak bertentangan harus diselesaikan sehingga hilanglah pertentangan itu. Hanya saja dalam menyelesaikan pertentangan tersebut, ulama berbeda pendapat. Makalah sederhana ini akan coba membahas meskipun sepintas bagaimana menyikapi hadits-hadits yang tampak bertentangan itu.
Berbagai hadits yang mukhtalif telah dihimpun oleh ulama dalam kitab-kitab khusus. Sejarah mencatat bahwa ulama yang mempelopori kegiatan penghimpunan itu adalah Imam al-Syafi`i dengan karyanya Ikhtilaf al-Hadis. Disusul kemudian oleh Ibn Qutaibah dengan kitabnya Ta'wil Mukhtalif al-Hadis. Lalu al-Thahawi dengan judul kitabnya Musykil al-Asar, kemudian Ibnu Khuzaimah,Ibn Jarir dan Ibn al-Jauzi. Para ulama sependapat bahwa hadits-hadits yang tampak bertentangan harus diselesaikan sehingga hilanglah pertentangan itu. Hanya saja dalam menyelesaikan pertentangan tersebut, ulama berbeda pendapat. Makalah sederhana ini akan coba membahas meskipun sepintas bagaimana menyikapi hadits-hadits yang tampak bertentangan itu.
B.
Rumusan Masalah
1.
Riwayat apa sajakah yang bertentangan dengan sejarah ?
2.
Bagaimana pendapat para ulama dalam menyikapi hadits
yang bertentangan dengang sejarah yang terdapat dalam kitab-kitab yang dinilai shohih?
3.
Matan – matan
apa saja terdapat dalam kitab almaudluat dan alwahiyat?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui
riwayat apa sajakah
yang bertentangan dengan sejarah.
2.
Untuk mengetahui
bagaimana
pendapat para ulama dalam menyikapi hadits yang bertentangan dengang sejarah yang terdapat dalam kitab-kitab yang dinilai shohih.
3. Untuk mengetahui matan – matan apa saja terdapat dalam kitab almaudluat dan alwahiyat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat-riwayat yang Bertentangan dengan Sejarah
Ada beberapa hadits yang diriwayatkan dan bertentangan dengan
ketetapan sejarah, yang menyebabkan kita ragu akan keshahihannya, dan menuding
alpa terhadap para periwayatnya.
Saya tidak mengatakan bahwa hanya karena berselisih dengan sejarah
menyebabkan tertolaknya hadits, karena sejarah yang dimaksud itu haruslah
sejarah yang dapat dipastikan kebenarannya. Hadits yang kita tolak adalah
hadits-hadits ahad yang bertentangan dengan sejarah, karena
hadits-hadits ahad itu memiliki eksistensi yang nisbi, maka tidak boleh
bertentangan dengan sesuatu yang eksistensinya pasti atau mendekati kepastian.
Dalam bahasan ini terdapat dua cabang. Pertama, matan-matan
yang berada dalam kitab-kitab shahih. Kedua, matan-matan yang berada
dalam kitab-kitab maudlu’ dan lemah.
B. Matan-matan yang Ada di dalam Kitab-kitab yang
Dinilai Shahih
1.
Riwayat:
Umpatan Abbas terhadap Ali Ibn Abi Thalib
روي, عن مالك بن أوس,
قصة مجيء العباس وعلي الى عمر بن الخطاب, وذلك في شأن ما أفءالله على رسوله,
يطلبان أن يقسم الاشراف عليه بينهما نصفين, فرأى عمر أن يقسمه, وفي هذه القصة,
وحسب ما جاء في صحيح مسلم, فإن العباس قال لعمر: يا أمير المؤمنين, اقض بيني وبين
هذا الكاذب, الآثم, الغادر, الخائن. يريد بذلك علي بن أبي طالب.
Muslim meriwayatkan dari Malik ibn Aus, tentang kisah kedatangan
Abbas dan Ali kepada Umar ibn Khattab, untuk urusan harta fai’ yang
diberikan kepada Rasul. Mereka berdua meminta Umar untuk membagi dua harta
tersebut untuk Abbas dan Ali. Umar berpendapat untuk membagi dua harta itu.
Dalam riwayat ini, sesuai riwayat Muslim, Abbas berkata kepada Umar: “Wahai
Amirul Mukminin, putuskanlah perkara ini antara aku dan pembohong dan
penghianat ini.” Yang dimaksud Abbas adalah Ali ibn Abi Thalib.[1]
Umpatan ini mustahil jika berasal dari Abbas untuk anak saudaranya,
Ali, karena hal semacam ini tidak pernah diketahui dalam sejarah mereka. Oleh
karena itu sebagian ulama’ ada yang menakwili kata-kata ini, ada pula yang
menolaknya.
Takwilan yang dimaksud adalah dengan membuang syarat yang
dikira-kirakan, yaitu: putuskanlah antara aku dan pembohong ini jika ia tidak
adil. Hal ini merupakan pentakwilan nash dengan takwilan yang tidak dapat
diterima, maka takwilan ini tertolak.
Oleh karena itu Imam al-Maziri berpendapat bahwa kata ini tidak patut diucapkan oleh
Abbas. Dan Ali lebih terhormat dari pada menerima sebagian sifat-sifat ini,
apalagi menerima semuanya. Saya tidak menghukumi ‘ishmah kecuali bagi
Rasul dan bagi orang yang disaksikan Rasul bersifat ‘ishmah, tetapi kita
disuruh untuk bersangka baik kepada sahabat dan menafikan sifat jelek dari
mereka. Jika jalan-jalan takwil tertutup, maka kebohongan atau kesalahan
terjadi pada periwayat hadits ini. beliau menambahkan bahwa sebagian ulama membuang
kata-kata ini karena ke-wara’an (hati-hati) dalam menulis kata seperti
ini.
Abu Daud meriwayatkan hadits ini dalam kitab Sunan, dan di
sana tidak ada riwayat yang munkar ini,[2]
mungkin dia membuangnya. Telah lalu dalam hadits doa Nabi SAW. Untuk umatnya,
sore hari Arafah, bahwa Abu Daud dan Ibn Majah meriwayatkan hadits ini, dengan
sanad yang sama. Hanya saja ibn Majah meriwayatkannya dengan panjang, dan Abu
Daud membuang kalimat yang munkar, hanya meriwayatkan akhir hadits saja, dan
ini merupakan kejelian analisisnya dalam mengkritik.
2.
Dari
Mustadrak al-Hakim
a.
Keterdahuluan
Ali ibn Abi Thalim Masuk Islam
روي الحاكم في
"المستدرك", غن علي رضي الله عنه, قال: عبدت الله مع رسول الله صلى الله
عليه وسلم سبع سنين, قبل أن يعبده أحد من هذه الأمة.
Al-Hakim
meriwayatkan dalam kitab al-Mustadrak dari Ali ra. Ia berkata: “Saya
menyembah Allah bersama Rasulullah tujuh tahun, sebelum seorang pun dari umat ini menyembahnya.”[3]
Para ulama’ menolak riwayat ini, karena bertentangan dengan
sejarah. Al-Dzahabi menghukumi riwayat ini bathil, karena Rasul setelah diberi
wahyu, Khadijah segera beriman kepada beliau, dan Abu Bakar, Bilal, dan Zaid
Ibn Haritsah, begitu juga Ali. Dan hal itu terjadi dalam selisih waktu yang
dekat, yang satu mendahului yang lainnya dalam waktu dekat. Semuanya menyembah
Allah bersama Rasul, maka sungguh tidak benar tujuh tahun itu.
Al-Dzahabi mencoba memberikan justifikasi riwayat ini, dengan menakwilkan bahwa Ali
mengatakan: Saya menyembah Allah sedangkan umurku tujuh tahun, kemudian
periwayat salah dengar, dan menyangka bahwa Ali berkata: Saya menyembah Allah
tujuh tahun.[4]
Ibn al-Jauzi memuat hadits ini dalam kitab al-Maudlu’at, dan
setelah membicarakan sanadnya, ia menghukumi hadits ini bathil karena
bertentangan dengan dahulunya islamnya Khadijah, Zaid dan Abu Bakar, dan juga
Umar telah memeluk Islam enam tahun setelah kenabian, dan jumlah kaum muslimin
waktu itu empat puluh orang, maka bagaimana benar Ali menyembah Allah selama tujuh
tahun sebelum seseorang dari umat menyembahNya?[5]
b.
روي
الحاكم في "المستدرك", عن بريدة, قال: أوحي الى رسول الله صلى الله عليه
وسلم يوم الاثنين, وصلى علي يوم الثلاثاء. ورواه الترمذي عن أنس
Riwayat:
Nabi diutus di Hari Senin dan Ali shalat di Hari Selasa. Al-Hakim meriwayatkan
dalam al-Mustadrak dari Buraidah, berkata, Rasul diberi wahyu pada Hari
Senin, dan Ali shalat pada Hari Selasa.[6]
At-Tirmidziy meriwayatkannya dari Anas.[7]
Diketahui dari sejarah bahwa shalat tidak diwajibkan sejak hari
permulaan wahyu, tetapi shalat itu diwajibkan pada malam isra’ dan mi’raj,
artinya di tahun ke dua belas dari kenabian, maka bagaimana mungkin Rasul
diberi wahyu hari senin dan Ali shalat di hari selasa?
Jika
hal itu merupakan kiasan dari kecepatan Islamnya Ali, maka yang benar
dikatakan: Ali memeluk Islam langsung di hari setelah kenabian. Penafsiran yang
benar ini juga diriwayatkan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, dari
Anas, ia berkata: Nabi diutus pada hari Senin, dan Ali masuk Islam di hari
Selasa.[8]
Riwayat al-Hakim dari Anas ini lebih shahih dari riwayat Buraidah
dan dari riwayatnya Al-Tirmidziy dari Anas, karena riwayat itu menyelisihi
sejarah, mungkin kesalahan ada pada salah satu periwayat hadits.
C. Matan-Matan Yang Ada Dalam Kitab-Kitab Al-Maudlu’at
Dan Al-Wahiyat
1. Riwayat: Tidak Ada Seorang Nabi Yang Diangkat
Menjadi Nabi Kecuali Setelah Berusia Empat Puluh Tahun.
رويت عن النبي صلى
الله عليه وسلم هذه الرواية, وهي: ما من نبي نبىء إلا بعد الأربعين.
Diriwayatkan
dari nabi saw,: “tidak ada seorang nabi diutus kecuali setelah berumur empat
puluh tahun.”
Ibn Al-Jauzi menghukumi hadits ini hadits palsu,
karena menurut sejarah, sesungguhnya nabi Isa a.s. diutus dan diangkat ke
langit dalam usia tiga puluh tahun.
Al-Sakhawi menolak riwayat ini dengan hadits yang
diriwayatkan abi nuaim dalam kitab hilyah al-auliya’, yaitu hadits:
‘”tidaklah allah mengutus seorang nabi kecuali ia hidup separuh usia nabi
sebelumnya”, dan dengan riwayat Al-Thabrani dalam al-mu’jam al-kabir
dari aisyah secara marfu’ : “sesungguhnya nabi isa hidup dengan usia seratus
dua puluh tahun”[9]
Dalil Al-Sakhawi
bahwa setiap nabi hidup separuh usia nabi sebelumnya tidak shahih,
karena riwayat ini jelas kebathilannya, dari sisi susunan piramida ini, dimana
umur-umur para nabi tunduk pada himpunan
metematik dengan ukuran yang simetris. Kedua, kalau kita mengikutinya, dan nabi
terakhir sebelum Muhammad itu hidup dua kali usia nabi Muhammad, nabi
sebelumnya berusia dua kali usia nabi sebelum Muhammad dan seterusnya, maka
dalam hitungan jari saja usia seorang nabi dapat mencapai ribuan tahun. Apabila
kita sampai pada sepuluh nabi maka hitungan akan mencapai angka-angka yang
banyak. Yang disayangkan, al-sakhwi menghukumi hadits ini dengan hasan
karena banyaknya riwayat ini, dan lupa mengkritisi matan-nya. Kalau saja ia
kritis terhadap matannya pastilah ia menghukumi hadits ini palsu. Al-sakhawi
tidak berbicara tentang riwayat lain, yaitu Isa berusia seratus dua puluh
tahun, dan kelihatannya riwayat ini anak (cabang) dari riwayat sebelumnya, dan
mempunyai hukum sepertinya. Ucapan bahwa isa berusia seratus tahun, supaya ada
kemungkinan ia diutus setelah berusia empat puluh tahun, untuk menolak Ibn
Al-Jauzi, maka tidak cukup kuat untuk dijadikan dalil penolakan terhadap dalil
Ibn Al-Jaui sebab sejarah mengatakan Isa mendapatkan risalah dalam usia tiga
puluh tahun.[10]
2. Riwayat: Jauhilah Dingin, Karena Ia Telah Membunuh
Saudaramu, Abu Al-Darka.
المسألة الثانية:
رواية اتقوا البرد فإنه قتل أخاكم أبا الدرداء اشتهرت على الأ لسنة هذه الرواية,
وهي: اتقوا البرد, فإنه قتل أخاكم أبا الدرداء. ولا يعرف لها إسناد.
Riwayat
ini telah masyhu, yaitu riwayat: “jauhilah dingin sesungguhnya ia membunuh
saudaramu abu al-darka’, hadits ini tidak diketahui sanadnya[11].
Diketaui
bahwa abu al-Darda’ tidak mati di zaman Rasulullah, bahkan hidup setelah Rasul
dalam masa yang panjang, kemudian pindah ke negeri syam dan mati disana, maka
riwayat itu maudlu’ .
Hanya saja sakhawi memberi kemungkinan tentang
adanya sanad bagi hadist ini, jika benar maka perlu penakwilan. Dan saya tak
tahu bagaimana ia akan membuat-buat penakwilan yang jauh ? apa yang
mendorongnya untuk melakukan hal itu?
Riwayat ini tidak mempunyai sanad dan bertentangan
dengan sejarah, maka tidak lagi perlu takwil.
Kebanyakan
mentakwil, dan menutup mata dari mengkritik matan menjerumuskan seorang alim
sehingga menjauhi bahasa yang jelas dan memberi muatan makna kata yang tidak dapat dikandung
oleh kata (lafal).
3. Riwayat: Pengguguran
Pajak Bagi Penduduk Khaibar.
المسألة الثالثة:
روية وضع الجزية عن أهل خيبر
Di
masa Al-Khatib Al-Bagdadi, sekelompok kaum Yahudi menunjukkan sebuah surat,
mereka mengklaim bahwa surat itu dari rasullullah berisi pengguguran pajak dari
penduduk khaibar, di dalamnya terdapat persaksian sebagian sahabat. Surat itu
ditunjukkan kepada Al-Baghdadi. Kemudian dia melihatnya, secepatnya ia berkata
surat ini palsu, tanpa melihat sanadnya. Ketika ditanya tentang sebabnya, ia
berhujjah bahwa surat itu bertentangan dengan sejarah, dalam dua point: pertama,
persaksian Sa’id ibn Mu’ad, dan ini mustahil, karena Sa’d wafat setelah
perang Khandaq pada tahun lima hijriyah maka bagaimana ia hadir di Khaibar dan
menyaksikan surat itu?, kedua, disana ada persaksian Muawwiyah Ibn Abi
Sufyan, sedang ia masuk Islam pada fath mekkah tahun delapan hijriyah,
bagaimana ia berperang bersama rasul di Khaibar sebelum memeluk islam? Kaum
Yahudi berusaha mempermasalahkan surat ini kembali, di zaman syaikh Islam, Ibn
Taimmiyah. Ketika melihatnya beliau meludahinya, dan
mengatakan surat ini palsu dari berbagai segi.
Di antara
yang menunjukkan kepalsuan surat ini, selain dua alasan di atas, adalah:
1. Pada
waktu itu ketentuan hukum pajak belum turun, tetapi hukum pajak turun di tahun
Tabuk, tahun ke Sembilan hijriyah.
2. Dalam
surat tersebut dibebaskan atas kaum Yahudi kerja paksa, padahal waktu itu tidak
ada kerja paksa, tidak ada pula pajak.
3. Surat
semacam itu tentunya ada faktor pendorong untuk periwayatannya, bagaimana
mungkin tidak diketahui oleh para pembawa sunnah dari para sahabat, tabi’in dan
imam-imam hadits, dan hanya diketahui dan diriwayatkan oleh kaum yahudi saja?
4. Penduduk
Khaibar tidak pernah berbuat ihsan sebelumnya sehingga menyebabkan
dihapusnya pajak atas mereka. Mereka justru memerangi Allah dan Rasulnya, meracuni
Rasul dan melindungi musuh-musuh Rasul yang memerangi beliau, dan mereka mendorong manusia untuk memerangi Rasul. Maka
dari mana perlakuan lembut terhadap mereka ini?
5. Rasul
tidak menghapus pajak dari kaum yang lebih jauh, padahal mereka tidak memusuhi Rasul,
seperti penduduk Najran, penduduk Yaman dan lain-lain. Bagaimna Rasul
menghapusnya dari tetangga yang dekat, sedangkan mereka sangat memusuhi,
mengkufuri dan menentang beliau[12].
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ada
beberapa hadits yang diriwayatkan dan bertentangan dengan ketetapan sejarah,
yang menyebabkan kita ragu akan keshahihannya, dan menuding alpa terhadap para
periwayatnya.
1.
Matan-matan yang Ada di dalam Kitab-kitab yang
Dinilai Shahih
a)
Riwayat: Umpatan Abbas terhadap Ali Ibn Abi Thalib
b)
Dari Mustadrak al-Hakim
2.
Matan-Matan Yang Ada Dalam Kitab-Kitab Al-Maudlu’at DanAl-Wahiyat
a)
Riwayat: Tidak Ada Seorang Nabi Yang Diangkat
Menjadi Nabi Kecuali Setelah Berusia Empat Puluh Tahun.
b)
Riwayat: Jauhilah Dingin, Karena Karena Ia Telah
Membunuh Saudaramu, Abu Al-Darka.
c)
Riwayat:Pengguguran Pajak Bagi Penduduk Khaibar.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Adlabi Salahudin Ibn Ahmad. 2004. Metodelogi
Kritik Matan Hadis: Manhaj Naqd
al-Matn Ind Ulama’ al-hadist al-Nabawi. Jakarta : Gaya
Media Pratama.
Ilyas Yunahar. 1996. Pengermbangan pemikiran terhadap hadits. Yogjakarta
: lembaga pengkajian dan pengamalan islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah
Yogjakarta.
[1]Lihat Shahih Muslim: 12/ 71-72, besertasyarah Nawawi
[4]Lihat
Talkhis al-Mustadrak, al-Dzahabi: 3/ 112. Kritikan atas Dzahabi adalah, bahwa
Ali sudah berumur sepuluh tahun ketika Rasuldiutus, maka justifikasinya kuranga
kurat.
[6]Al-Mustadrak: 3/
113, Hakim berkata sanadnya shahih, dan al-Dzahabi berkata dalam Talkhish:
shahih
[9]lihat
al-Maqashid al-Hasanah, no. 985, 944.
[10]Lihat
misalnyaInjil Luqas, dari perjanjian baru: 3/23, dan lihat Qishashal-an-biya,
Abdul Wahab al-Najjar: hlm. 388-389
[11]Lihat al-Maqashid al-Hasanah, no. 19 Syeikh Ibnu Abdullah Ibn al-Shiddiq
berkata dalam catatan kakinya; tidak ada riwayat mengatakan bahwa Abu al-Darda’
wafat dengan dingin.
[12]Lihat
al-Mannar al-Munif; hal 102-105, dan Mu’jam al Udaba’, Yaqut al-Humawi: 4/18, dan Thabaqat
al-Syafi’iyah al-Kubro, Tajuddin al-Subki: 4/35.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar