Sabtu, 21 Maret 2015

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Hadits diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai sumber kedua ajaran agama Islam setelah al-Qur'an. Keyakinan ini mengharuskan umat Islam menjadikan hadits sebagai pedoman hidup, karena ia juga merupakan tuntunan Allah. Sebagai salah satu sumber ajaran Islam, secara prinsip hadits tidak mungkin bertentangan dengan dalil lain, baik dengan sesama hadits, sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Seandainya ada pertentangan, maka hal itu hanya tampak di luarnya saja. Berangkat dari prinsip ini, maka timbul upaya para ulama untuk menyelesaikan persoalan ketika mendapati teks-teks hadits yang tampak bertentangan. Hadits-hadits yang tampak bertentangan ini biasa disebut dengan istilah Ikhtilaf atau Mukhtalif al-Hadis.
     Dengan demikian, ilmu ini akan membahas hadits-hadits yang secara lahiriah bertentangan, namun ada kemungkinan yang dapat diterima dengan syarat. Mungkin dengan cara membatasi kemutlakan atau keumumannya dan lainnya yang bisa disebut sebagai talfiqal-hadits.
Imam An-Nawawi berkata dalam at-taqrib: “Ini adalah salah satu ilmu dirayah yang terpenting. Semua ulama dari berbagai golongan perlu mengetahuinya. Ilmu Mukhtalif Al-Hadits ini telah mendapat perhatian serius sejak masa sahabat, yang menjadi rujukan utama segala persoalan setelah Rasulullah. Kajian tentang hadits-hadits yang bertentangan ini merupakan hal yang sangat penting bagi para pengkaji hadis. Tidak ada yang mahir dalam bidang ini, kecuali imam hadits yang tajam analisisnya.
     Berbagai hadits yang mukhtalif telah dihimpun oleh ulama dalam kitab-kitab khusus. Sejarah mencatat bahwa ulama yang mempelopori kegiatan penghimpunan itu adalah Imam al-Syafi`i dengan karyanya Ikhtilaf al-Hadis. Disusul kemudian oleh Ibn Qutaibah dengan kitabnya Ta'wil Mukhtalif al-Hadis. Lalu al-Thahawi dengan judul kitabnya Musykil al-Asar, kemudian Ibnu Khuzaimah,Ibn Jarir dan Ibn al-Jauzi. Para ulama sependapat bahwa hadits-hadits yang tampak bertentangan harus diselesaikan sehingga hilanglah pertentangan itu. Hanya saja dalam menyelesaikan pertentangan tersebut, ulama berbeda pendapat. Makalah sederhana ini akan coba membahas meskipun sepintas bagaimana menyikapi hadits-hadits yang tampak bertentangan itu.

B.       Rumusan Masalah
1.     Riwayat apa sajakah yang bertentangan dengan sejarah ?
2.     Bagaimana pendapat para ulama dalam menyikapi hadits yang bertentangan dengang sejarah yang terdapat dalam kitab-kitab yang dinilai shohih?
3.     Matan – matan apa saja terdapat dalam kitab almaudluat dan alwahiyat?

C.      Tujuan Pembahasan
1.     Untuk mengetahui riwayat apa sajakah yang bertentangan dengan sejarah.
2.     Untuk mengetahui bagaimana pendapat para ulama dalam menyikapi hadits yang bertentangan dengang sejarah yang terdapat dalam kitab-kitab yang dinilai shohih.
3.     Untuk mengetahui matan – matan apa saja terdapat dalam kitab almaudluat dan alwahiyat.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Riwayat-riwayat yang Bertentangan dengan Sejarah
Ada beberapa hadits yang diriwayatkan dan bertentangan dengan ketetapan sejarah, yang menyebabkan kita ragu akan keshahihannya, dan menuding alpa terhadap para periwayatnya.
Saya tidak mengatakan bahwa hanya karena berselisih dengan sejarah menyebabkan tertolaknya hadits, karena sejarah yang dimaksud itu haruslah sejarah yang dapat dipastikan kebenarannya. Hadits yang kita tolak adalah hadits-hadits ahad yang bertentangan dengan sejarah, karena hadits-hadits ahad itu memiliki eksistensi yang nisbi, maka tidak boleh bertentangan dengan sesuatu yang eksistensinya pasti atau mendekati kepastian.
Dalam bahasan ini terdapat dua cabang. Pertama, matan-matan yang berada dalam kitab-kitab shahih. Kedua, matan-matan yang berada dalam kitab-kitab maudlu’ dan lemah.

B.  Matan-matan yang Ada di dalam Kitab-kitab yang Dinilai Shahih
1.             Riwayat: Umpatan Abbas terhadap Ali Ibn Abi Thalib
روي, عن مالك بن أوس, قصة مجيء العباس وعلي الى عمر بن الخطاب, وذلك في شأن ما أفءالله على رسوله, يطلبان أن يقسم الاشراف عليه بينهما نصفين, فرأى عمر أن يقسمه, وفي هذه القصة, وحسب ما جاء في صحيح مسلم, فإن العباس قال لعمر: يا أمير المؤمنين, اقض بيني وبين هذا الكاذب, الآثم, الغادر, الخائن. يريد بذلك علي بن أبي طالب.

Muslim meriwayatkan dari Malik ibn Aus, tentang kisah kedatangan Abbas dan Ali kepada Umar ibn Khattab, untuk urusan harta fai’ yang diberikan kepada Rasul. Mereka berdua meminta Umar untuk membagi dua harta tersebut untuk Abbas dan Ali. Umar berpendapat untuk membagi dua harta itu. Dalam riwayat ini, sesuai riwayat Muslim, Abbas berkata kepada Umar: “Wahai Amirul Mukminin, putuskanlah perkara ini antara aku dan pembohong dan penghianat ini.” Yang dimaksud Abbas adalah Ali ibn Abi Thalib.[1]
Umpatan ini mustahil jika berasal dari Abbas untuk anak saudaranya, Ali, karena hal semacam ini tidak pernah diketahui dalam sejarah mereka. Oleh karena itu sebagian ulama’ ada yang menakwili kata-kata ini, ada pula yang menolaknya.
Takwilan yang dimaksud adalah dengan membuang syarat yang dikira-kirakan, yaitu: putuskanlah antara aku dan pembohong ini jika ia tidak adil. Hal ini merupakan pentakwilan nash dengan takwilan yang tidak dapat diterima, maka takwilan ini tertolak.
Oleh karena itu Imam al-Maziri berpendapat  bahwa kata ini tidak patut diucapkan oleh Abbas. Dan Ali lebih terhormat dari pada menerima sebagian sifat-sifat ini, apalagi menerima semuanya. Saya tidak menghukumi ‘ishmah kecuali bagi Rasul dan bagi orang yang disaksikan Rasul bersifat ‘ishmah, tetapi kita disuruh untuk bersangka baik kepada sahabat dan menafikan sifat jelek dari mereka. Jika jalan-jalan takwil tertutup, maka kebohongan atau kesalahan terjadi pada periwayat hadits ini. beliau menambahkan bahwa sebagian ulama membuang kata-kata ini karena ke-wara’an (hati-hati) dalam menulis kata seperti ini.
Abu Daud meriwayatkan hadits ini dalam kitab Sunan, dan di sana tidak ada riwayat yang munkar ini,[2] mungkin dia membuangnya. Telah lalu dalam hadits doa Nabi SAW. Untuk umatnya, sore hari Arafah, bahwa Abu Daud dan Ibn Majah meriwayatkan hadits ini, dengan sanad yang sama. Hanya saja ibn Majah meriwayatkannya dengan panjang, dan Abu Daud membuang kalimat yang munkar, hanya meriwayatkan akhir hadits saja, dan ini merupakan kejelian analisisnya dalam mengkritik.
2.         Dari Mustadrak al-Hakim
a.       Keterdahuluan Ali ibn Abi Thalim Masuk Islam
روي الحاكم في "المستدرك", غن علي رضي الله عنه, قال: عبدت الله مع رسول الله صلى الله عليه وسلم سبع سنين, قبل أن يعبده أحد من هذه الأمة.
Al-Hakim meriwayatkan dalam kitab al-Mustadrak dari Ali ra. Ia berkata: “Saya menyembah Allah bersama Rasulullah tujuh tahun, sebelum seorang pun  dari umat ini menyembahnya.”[3]
Para ulama’ menolak riwayat ini, karena bertentangan dengan sejarah. Al-Dzahabi menghukumi riwayat ini bathil, karena Rasul setelah diberi wahyu, Khadijah segera beriman kepada beliau, dan Abu Bakar, Bilal, dan Zaid Ibn Haritsah, begitu juga Ali. Dan hal itu terjadi dalam selisih waktu yang dekat, yang satu mendahului yang lainnya dalam waktu dekat. Semuanya menyembah Allah bersama Rasul, maka sungguh tidak benar tujuh tahun itu.
Al-Dzahabi mencoba memberikan justifikasi  riwayat ini, dengan menakwilkan bahwa Ali mengatakan: Saya menyembah Allah sedangkan umurku tujuh tahun, kemudian periwayat salah dengar, dan menyangka bahwa Ali berkata: Saya menyembah Allah tujuh tahun.[4]
Ibn al-Jauzi memuat hadits ini dalam kitab al-Maudlu’at, dan setelah membicarakan sanadnya, ia menghukumi hadits ini bathil karena bertentangan dengan dahulunya islamnya Khadijah, Zaid dan Abu Bakar, dan juga Umar telah memeluk Islam enam tahun setelah kenabian, dan jumlah kaum muslimin waktu itu empat puluh orang, maka bagaimana benar Ali menyembah Allah selama tujuh tahun sebelum seseorang dari umat menyembahNya?[5]
b.      روي الحاكم في "المستدرك", عن بريدة, قال: أوحي الى رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم الاثنين, وصلى علي يوم الثلاثاء. ورواه الترمذي عن أنس
Riwayat: Nabi diutus di Hari Senin dan Ali shalat di Hari Selasa. Al-Hakim meriwayatkan dalam al-Mustadrak dari Buraidah, berkata, Rasul diberi wahyu pada Hari Senin, dan Ali shalat pada Hari Selasa.[6] At-Tirmidziy meriwayatkannya dari Anas.[7]
Diketahui dari sejarah bahwa shalat tidak diwajibkan sejak hari permulaan wahyu, tetapi shalat itu diwajibkan pada malam isra’ dan mi’raj, artinya di tahun ke dua belas dari kenabian, maka bagaimana mungkin Rasul diberi wahyu hari senin dan Ali shalat di hari selasa?
Jika hal itu merupakan kiasan dari kecepatan Islamnya Ali, maka yang benar dikatakan: Ali memeluk Islam langsung di hari setelah kenabian. Penafsiran yang benar ini juga diriwayatkan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, dari Anas, ia berkata: Nabi diutus pada hari Senin, dan Ali masuk Islam di hari Selasa.[8]
Riwayat al-Hakim dari Anas ini lebih shahih dari riwayat Buraidah dan dari riwayatnya Al-Tirmidziy dari Anas, karena riwayat itu menyelisihi sejarah, mungkin kesalahan ada pada salah satu periwayat hadits.




C.      Matan-Matan Yang Ada Dalam Kitab-Kitab Al-Maudlu’at Dan Al-Wahiyat
1.      Riwayat: Tidak Ada Seorang Nabi Yang Diangkat Menjadi Nabi Kecuali Setelah Berusia Empat Puluh Tahun.
رويت عن النبي صلى الله عليه وسلم هذه الرواية, وهي: ما من نبي نبىء إلا بعد الأربعين.

Diriwayatkan dari nabi saw,: “tidak ada seorang nabi diutus kecuali setelah berumur empat puluh tahun.”
Ibn Al-Jauzi menghukumi hadits ini hadits palsu, karena menurut sejarah, sesungguhnya nabi Isa a.s. diutus dan diangkat ke langit dalam usia tiga puluh tahun.
Al-Sakhawi menolak riwayat ini dengan hadits yang diriwayatkan abi nuaim dalam kitab hilyah al-auliya’, yaitu hadits: ‘”tidaklah allah mengutus seorang nabi kecuali ia hidup separuh usia nabi sebelumnya”, dan dengan riwayat Al-Thabrani dalam al-mu’jam al-kabir dari aisyah secara marfu’ : “sesungguhnya nabi isa hidup dengan usia seratus dua puluh tahun”[9]
Dalil Al-Sakhawi  bahwa setiap nabi hidup separuh usia nabi sebelumnya tidak shahih, karena riwayat ini jelas kebathilannya, dari sisi susunan piramida ini, dimana umur-umur para nabi tunduk  pada himpunan metematik dengan ukuran yang simetris. Kedua, kalau kita mengikutinya, dan nabi terakhir sebelum Muhammad itu hidup dua kali usia nabi Muhammad, nabi sebelumnya berusia dua kali usia nabi sebelum Muhammad dan seterusnya, maka dalam hitungan jari saja usia seorang nabi dapat mencapai ribuan tahun. Apabila kita sampai pada sepuluh nabi maka hitungan akan mencapai angka-angka yang banyak. Yang disayangkan, al-sakhwi menghukumi hadits ini dengan hasan karena banyaknya riwayat ini, dan lupa mengkritisi matan-nya. Kalau saja ia kritis terhadap matannya pastilah ia menghukumi hadits ini palsu. Al-sakhawi tidak berbicara tentang riwayat lain, yaitu Isa berusia seratus dua puluh tahun, dan kelihatannya riwayat ini anak (cabang) dari riwayat sebelumnya, dan mempunyai hukum sepertinya. Ucapan bahwa isa berusia seratus tahun, supaya ada kemungkinan ia diutus setelah berusia empat puluh tahun, untuk menolak Ibn Al-Jauzi, maka tidak cukup kuat untuk dijadikan dalil penolakan terhadap dalil Ibn Al-Jaui sebab sejarah mengatakan Isa mendapatkan risalah dalam usia tiga puluh tahun.[10]

2.      Riwayat: Jauhilah Dingin, Karena Ia Telah Membunuh Saudaramu, Abu Al-Darka.
المسألة الثانية: رواية اتقوا البرد فإنه قتل أخاكم أبا الدرداء اشتهرت على الأ لسنة هذه الرواية, وهي: اتقوا البرد, فإنه قتل أخاكم أبا الدرداء. ولا يعرف لها إسناد.
Riwayat ini telah masyhu, yaitu riwayat: “jauhilah dingin sesungguhnya ia membunuh saudaramu abu al-darka’, hadits ini tidak diketahui sanadnya[11].
Diketaui bahwa abu al-Darda’ tidak mati di zaman Rasulullah, bahkan hidup setelah Rasul dalam masa yang panjang, kemudian pindah ke negeri syam dan mati disana, maka riwayat itu maudlu’ .
Hanya saja sakhawi memberi kemungkinan tentang adanya sanad bagi hadist ini, jika benar maka perlu penakwilan. Dan saya tak tahu bagaimana ia akan membuat-buat penakwilan yang jauh ? apa yang mendorongnya untuk melakukan hal itu?
Riwayat ini tidak mempunyai sanad dan bertentangan dengan sejarah, maka tidak lagi perlu takwil.
Kebanyakan mentakwil, dan menutup mata dari mengkritik matan menjerumuskan seorang alim sehingga menjauhi bahasa yang jelas dan memberi  muatan makna kata yang tidak dapat dikandung oleh kata (lafal).

3.      Riwayat: Pengguguran Pajak Bagi Penduduk Khaibar.
المسألة الثالثة: روية وضع الجزية عن أهل خيبر

Di masa Al-Khatib Al-Bagdadi, sekelompok kaum Yahudi menunjukkan sebuah surat, mereka mengklaim bahwa surat itu dari rasullullah berisi pengguguran pajak dari penduduk khaibar, di dalamnya terdapat persaksian sebagian sahabat. Surat itu ditunjukkan kepada Al-Baghdadi. Kemudian dia melihatnya, secepatnya ia berkata surat ini palsu, tanpa melihat sanadnya. Ketika ditanya tentang sebabnya, ia berhujjah bahwa surat itu bertentangan dengan sejarah, dalam dua point: pertama, persaksian Sa’id ibn Mu’ad, dan ini mustahil, karena Sa’d wafat setelah perang Khandaq pada tahun lima hijriyah maka bagaimana ia hadir di Khaibar dan menyaksikan surat itu?, kedua, disana ada persaksian Muawwiyah Ibn Abi Sufyan, sedang ia masuk Islam pada fath mekkah tahun delapan hijriyah, bagaimana ia berperang bersama rasul di Khaibar sebelum memeluk islam? Kaum Yahudi berusaha mempermasalahkan surat ini kembali, di zaman syaikh Islam, Ibn Taimmiyah. Ketika melihatnya beliau meludahinya, dan mengatakan surat ini palsu dari berbagai segi.
 Di antara yang menunjukkan kepalsuan surat ini, selain dua alasan di atas, adalah:
1.      Pada waktu itu ketentuan hukum pajak belum turun, tetapi hukum pajak turun di tahun Tabuk, tahun ke Sembilan hijriyah.
2.      Dalam surat tersebut dibebaskan atas kaum Yahudi kerja paksa, padahal waktu itu tidak ada kerja paksa, tidak ada pula pajak.
3.      Surat semacam itu tentunya ada faktor pendorong untuk periwayatannya, bagaimana mungkin tidak diketahui oleh para pembawa sunnah dari para sahabat, tabi’in dan imam-imam hadits, dan hanya diketahui dan diriwayatkan oleh kaum yahudi saja?
4.      Penduduk Khaibar tidak pernah berbuat ihsan sebelumnya sehingga menyebabkan dihapusnya pajak atas mereka. Mereka justru memerangi Allah dan Rasulnya, meracuni Rasul dan melindungi musuh-musuh Rasul yang memerangi beliau, dan mereka mendorong manusia untuk memerangi Rasul. Maka dari mana perlakuan lembut terhadap mereka ini?
5.      Rasul tidak menghapus pajak dari kaum yang lebih jauh, padahal mereka tidak memusuhi Rasul, seperti penduduk Najran, penduduk Yaman dan lain-lain. Bagaimna Rasul menghapusnya dari tetangga yang dekat, sedangkan mereka sangat memusuhi, mengkufuri dan menentang beliau[12].



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ada beberapa hadits yang diriwayatkan dan bertentangan dengan ketetapan sejarah, yang menyebabkan kita ragu akan keshahihannya, dan menuding alpa terhadap para periwayatnya.
1.    Matan-matan yang Ada di dalam Kitab-kitab yang Dinilai Shahih
a)      Riwayat: Umpatan Abbas terhadap Ali Ibn Abi Thalib
b)      Dari Mustadrak al-Hakim
2.    Matan-Matan Yang Ada Dalam Kitab-Kitab Al-Maudlu’at DanAl-Wahiyat
a)      Riwayat: Tidak Ada Seorang Nabi Yang Diangkat Menjadi Nabi Kecuali Setelah Berusia Empat Puluh Tahun.
b)      Riwayat: Jauhilah Dingin, Karena Karena Ia Telah Membunuh Saudaramu, Abu Al-Darka.
c)      Riwayat:Pengguguran Pajak Bagi Penduduk Khaibar.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Adlabi Salahudin Ibn Ahmad. 2004. Metodelogi Kritik Matan Hadis: Manhaj Naqd al-Matn Ind Ulama’ al-hadist al-Nabawi. Jakarta : Gaya Media Pratama.
Ilyas Yunahar. 1996. Pengermbangan pemikiran terhadap hadits. Yogjakarta : lembaga pengkajian dan pengamalan islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogjakarta.







[1]Lihat Shahih Muslim: 12/ 71-72, besertasyarah Nawawi
[2]Lihat Sunan Abu Daud: 2903. Lihat Sunan Abu Daud: 2903
[3]Al-Mustadrak, al-Hakim:3/ 112.
[4]Lihat Talkhis al-Mustadrak, al-Dzahabi: 3/ 112. Kritikan atas Dzahabi adalah, bahwa Ali sudah berumur sepuluh tahun ketika Rasuldiutus, maka justifikasinya kuranga kurat.
[5]Lihat al-Mudlu’at: 1/ 341-342.
[6]Al-Mustadrak: 3/ 113, Hakim berkata sanadnya shahih, dan al-Dzahabi berkata dalam Talkhish: shahih
[7]Lihat Sunan Al-Tirmidziy: 13/ 174, ia memberi isyarat pada kedha’ifan hadis ini.
[8]Al-Mustadrak: 3/ 112
[9]lihat al-Maqashid al-Hasanah, no. 985, 944.

[10]Lihat misalnyaInjil Luqas, dari perjanjian baru: 3/23, dan lihat Qishashal-an-biya, Abdul Wahab al-Najjar: hlm. 388-389
[11]Lihat  al-Maqashid al-Hasanah, no. 19 Syeikh Ibnu Abdullah Ibn al-Shiddiq berkata dalam catatan kakinya; tidak ada riwayat mengatakan bahwa Abu al-Darda’ wafat dengan dingin.

[12]Lihat al-Mannar al-Munif; hal 102-105, dan Mu’jam al  Udaba’, Yaqut al-Humawi: 4/18, dan Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubro, Tajuddin al-Subki: 4/35.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar