BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Konteks Syar’iyyah
di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis merupakan dua sumber hukum yang redaksinya
menetapkan hukum syar’i. Dalam menggali
nilai-nilai hukum pada sumber tersebut, tidak sepatutnya seseorang langsung
menukil darinya tanpa terlebih dahulu menimbangnya. Padahal tidak semua lafazh
yang ada mudah dipahami sehingga memungkinkan untuk langsung diambil. Ada
beberapa pengklasifikasian lafazh yang ada di dalam nash syar’i yang selayaknya
ditafsirkan terlebih dahulu.
Konteks
Al-Qur’an dan Al-Hadis tersebut bisa
berupa lafadz umum atau khusus.
Lafadz yang umum atau al-‘am, ketetapan hukumnya harus diartikan kepada
semua satuannya secara pasti bila disana tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
Jika terdapat dalil yang mengkhususkan maka mengenai arahan hukumnya apakah
pasti (qoth’iy) atau dugaan (dzonny).
Al-Qur’an dan
Al-Hadis juga ada yang berupa lafadz khusus (khash), maka hukum bisa
ditetapkan secara pasti selama tidak ada dalil yang mentakwilkan atau
memindahkan dan menghendaki arti yang lain. Dalam lafadz khash ini terdapat
lafadz mutlak yang dapat menetapkan hukum secara absolute dengan catatan tidak
ada dalil yang mengikatnya. Jika lafadz itu berbentuk perintah (‘amar),
maka obyek yang diperintahkannya wajib, atau berbentuk larangan (nahi)
maka obyek yang dilarang itu haram. Hal tersebut bila tidak ada dalil yang
merubah dari keharusannya atau ketidak bolehannya.
Pada
makalah ini selanjutnya, penulis akan membahas beberapa hal berkenaan dengan
lafazh yang ‘am dan Khash. Diharapkan dengan mengkaji dan
memahami lafazh ‘am dan Khash, seseorang tidak lagi gegabah dalam
menarik sebuah nash sebagai sebuah landasan dalam berbuat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Lafadz ‘Am dan
Apa Saja Shigat-Shigatnya?
2.
Apa Saja Pembagian‘Am?
3.
Apa Pengertian Lafadz Khashdan
Apa Saja Bentuk-Bentuk Mukhasshish?
4.
Apakah Ayat ‘Am Yang Sudah
Di-takhsis Masih Merupakan Dalil/Hujjah?
C. Tujuan Masalah
1.
Untuk
Mengetahui Pengertian Lafadz ‘Am Dan Shigat-Shigatnya.
2.
Untuk
Mengetahui Pembagian ‘Am.
3.
Untuk
Mengetahui Pengertian Lafadz Khash Dan Bentuk – Bentuk Mukhasshish.
4.
Untuk
Mengetahui Penjelasan Ayat ‘Am Yang Sudah
Ditakhsis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ayat Yang ‘Am Dan
Shighat-Shighatnya
1.
Pengertian ‘Am
Secara bahasa ‘Am
berartimerata atau yang umum.[1]Sedangkan secara istilah ‘Am ialah suatu lafadz yang
menunjukan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam
jumlah tertentu.[2]
Atau juga lafadz yang menunjukan dimana ditempatkan secara lughowi dan
semuanya itu berlaku untuk semua ifradnya.[3]
Para ulama Usul Fiqih memberikan
definisi ‘am antara lain sebagaiberikut:
a.
Menurut
ulama Hanafiyah adalah setiap lafadz yang mencakup banyak, baik secara
lafadz maupun makna.
b.
Menurut
ulama Syafi’iyyah, diantaranya Al-Ghazali adalah satu lafadz yang dari satu segi menunjukan dua makna atau
lebih.
c.
Menurut
Al-Bazdawiadalah lafadz yang mencakup semua yang cocok untuk lafadz tersebut dengan satu kata.
2.
Bentuk-bentuk (Shigat-shigat) ‘Am
Bentuk-bentuk umum ada tujuh :
a.
Lafadz Kullun,jami’un,
kaaffah, ma’asyar (artinya seluruhnya) Masing-masing
lafal tersebut meliputi segala yang menjadi mudhaf ilaihi dari
lafadh-lafadh itu. Contohnya :
v
Kullun(كُلٌّ)
كُلُّنَفْسٍذَائِقَةُالْمَوْتِ
“Setiap yang
bernyawa akan merasakan mati.”(Q.S.Ali Imran : 185)[4]
v
Jami’un(جَمِيْعٌ)
هُوَالَّذِيخَلَقَلَكُمْمَافِيالْأَرْضِجَمِيعًا
“Dialah (Allah) yang menciptakan untukmu apa yang ada
dibumi, semuanya.” (QS Al Baqarah : 29)[5]
v
Kaaffah(كَافَّةً)
وَمَاأَرْسَلْنَاكَإِلَّاكَافَّةًلِلنَّاسِ
“Dan kami tidak mengutus engkau (muhammad), melainkan
kepada semua umatmanusia.” (QS. Saba’ : 28)[6]
v
Ma’syar(مَعْشَرَ)
يَامَعْشَرَالْجِنِّوَالْإِنْسِأَلَمْيَأْتِكُمْرُسُلٌمِنْكُمْيَقُصُّونَعَلَيْكُمْآيَاتِيوَيُنْذِرُونَكُمْلِقَاءَيَوْمِكُمْهَذَا
“Wahai golongan jin dan manusia! bukankah sudah
datang kepadamurasul-rasul dari kalangan-mu sendiri, mereka menyampaikan
kepadamu ayat-ayat-Ku kepadamu dan memperingatkanmu tentang pertemuan pada hari
ini? (QS. Al-An’am : 130)[7]
b.
Isim Istifhamialah مَنْ (siapa), مَا
(apa), أَيْنَ (dimana), أَيٌّ
(siapakah), dan مَتَى (kapan). Contohnya :
مَتَىنَصْرُاللَّهِأَلَاإِنَّنَصْرَاللَّهِقَرِيبٌ
“Kapankah
datang pertolongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” (QS.
Al-Baqarah: 214)[8]
c.
Isim Isyarat, seperti مَنْ (barang siapa), مَا (apa
saja), dan أَيٌّ (yang mana saja). Contohnya :
مَنْيَعْمَلْسُوءًايُجْزَبِهِ
“Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan dibalas sesuai dengan kejahatan
itu.” (QS. An-Nisa’: 123)[9]
d.
Isim Mufrad yang makrifat dengan alif lam(ال) atau idhafah,Contohnya:
أَحَلَّاللَّهُالْبَيْعَوَحَرَّمَالرِّبَا
“Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengaharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)[10]
e.
Jama’ yang dita’rifkan (makrifat) dengan alif lam atau
dengan idhafah:
Contohnya :
v
Makrifat dengan alif lam(ال):
إِنَّاللَّهَيُحِبُّالْمُقْسِطِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (QS. Al-Maidah:
42)[11]
v
Makrifat dengan idhafah :
حُرِّمَتْعَلَيْكُمْأُمَّهَاتُكُمْ
“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu.” (QS. An-Nisa’: 23)[12]
f.
Isim Nakirah yang terletak sesudah Nafi,Contohnya :
وَاتَّقُوايَوْمًالَاتَجْزِينَفْسٌعَنْنَفْسٍشَيْئًا
“Dan takutlah kamu pada
hari,(ketika) tidak seorang pun dapat membela orang lain sedikit
pun.” (QS. Al-Baqarah: 48)[13]
g.
Isim Maushul (الَّذِي, الَّذِينَ,الَّتِى,اللَّاتِيْ)
إِنَّالَّذِينَيَأْكُلُونَأَمْوَالَالْيَتَامَىظُلْمًاإِنَّمَايَأْكُلُونَفِيبُطُونِهِمْنَارًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya.” (QS. An-Nisa’: 10)[14]
B.
Pembagian
‘Am
‘Am terbagi menjadi 2, yaitu:
a)
Umum
Syumuliy
Yaitu semua lafazh yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku
bagi seluruh pribadi, seperti :
يَاأَيُّهَاالنَّاسُاتَّقُوارَبَّكُمُالَّذِيخَلَقَكُمْمِنْنَفْسٍوَاحِدَةٍ
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan
kamu dari diri yang satu (adam).” (Qs. A
n-Nissa’: 1)[15]
Dalam Ayat ini seluruh manusia dituntut untuk bertakwa tanpa
kecuali, maka lafaz yang seperti ini dinamakan umumSyumuliy.
b)
Umum
Badaliy
Bagi suatu lafaz yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku
seperti Afrad (pribadi) seperti :
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواكُتِبَعَلَيْكُمُالصِّيَامُكَمَاكُتِبَعَلَىالَّذِينَمِنْقَبْلِكُمْلَعَلَّكُمْتَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (Q.S.
Al-Baqarah: 183)[16]
Sedangkan dalam
ketetapan nash, bahwa ‘am itu terbagi menjadi tiga:[17]
v Pertama adalah ‘am yang dimaksud secara qathi’ umum. Yaitu ‘am
yang didampingi oleh qarinah,
menafikan sasaran yang ditakhsiskan, seperti ‘am yang terdapat pada firman Alloh Swt :
وَمَامِنْدَابَّةٍفِيالْأَرْضِإِلَّاعَلَىاللَّهِرِزْقُهَا
“Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan
semuanya dijamin Allah rezekinya. (QS. Hud: 06).[18]
وَجَعَلْنَامِنَالْمَاءِكُلَّشَيْءٍحَيٍّ
“Dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air.” (QS.
Al-Anbiya’:30)[19]
Pada kedua ayat
ini orang menetapkan bahwa sudah menjadi sunnatulloh ada ‘am yang
tidak ditakhasiskan dan tidak pula dipertukarkan letaknya. Pada kedua ayat ini
terdapat ‘am qathi’ menunjuk kepada umum. Tidak mengandung hal yang
dimaksud khusus dengannya.
v Kedua adalah ‘am yang dimaksud secara qathi khusus.Yaitu apa
yang didampingi dengan qarinah, pada umumnya tetap menafikan dan
menyatakan maksud sebagian dari ifradnya itu. Seperti firmanAllah yang
berbunyi:
وَلِلَّهِعَلَىالنَّاسِحِجُّالْبَيْتِ
“Dan (di antara)
kewajiban manusia terhadap AllahadalahMelaksanakan ibadah haji ke Baitullah.”
(QS. Ali-Imran:97).[20]
Manusia pada
nash ini adalah umum. Dimaksud dengannya itu khusus para mukallaf. Menurut
akal, tidak termasuk anak-anak dan orang gila.
v Ketiga adalah ‘am makhsus. Yaitu ‘am mutlak yang tidak didampingi oleh qarinah,
meniadakan hal-hal yang ditakhsiskan. Tidak ada qarinah yang menafikan dalilnya terhadap umum. Misalnya
kebanyakan nash yang terdapat
padanya sighat umum. Terlepas dari
qarinah-qarinah lafdziah atau aqliah atau arfiah yang menyatakan umum, sebelum dikemukakan dalil
yang mentakhsiskannya. Misalnya, perempuan-perempuan yang ditalak oleh suaminya harus menunggu (iddah).
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Dan para istri
yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru.” (Al-Baqarah:
228).[21]
C. Pengertian
Khash Dan Bentuk-Bentuk Mukhasshis
1.
Pengertian
Khash
اللَّفْظُ الَّذِيْ وُضِعَ لِمَعْنىً وَاحِدِ
عَلَى سَبِيْلِ اْلإِنْفِرَادِ
“Lafadz
yang dari segi kebahasan, ditentukan untuk satu arti secara mandiri.”[22]
Menurut bahasa khash artinya tertentu, sedangkan menurut
istilah ushul fiqih khash ialah lafadz
khash telah mengandung
makna yang jelas baik jenis, jumlah,
bentuk maupun ketentuan lainnya. Jika suatu nas mengandung arti khash
maka dapat ditetapkan sebuah hukum yang pasti. Selama tidak terdapat dalil yang
mentakwilnya, atau menghendaki arti lain dari padanya.[23]
Pengertian khash (khusus) adalah lawan dari pengertian ‘am
(umum). Dengan demikian bila telah memahami pengertian lafazh ‘am secara tidak
lansung, juga dapat memahami pengertian lafazh khash.
Pengertian al-khash
menurut para tokoh-tokoh ushul fiqh adalah sebagai berikut:
a.
Adib
Shalih
Mendefenisikan Lafal al-Khash yang mengandung satu
pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas.
b.
Abu
Zahra
Mendefenisikan
Lafal al-Khash dalam nash syara’, menunjukan kepada pengertianya yang
yang khas secara qaht’i (pasti) dan hukum yang terkandung dikandungya
bersifat pasti (qaht’i) selama tidak ada indikasi yangmenunjukan
pengertian lain. Pendapat Abu Zahra ini disepakati oleh para ulama Ushul Fiqh.[24]
c.
Al
Amidi
Mendefinisikan al-Khash adalah satu lafazh yang tidak patut
digunakan bersama oleh jumlah yang banyak.
d.
Al
Khudahari Beik
Mendefinisikan al-Khash
adalah lafazh yang dari segi kebahasaan ditentukan untuk satu arti secara
mandiri.
e.
Abdul
Wahhab Abdul Salam Thawilah
Berpendapat
bahwa setiap lafal yang diungkapkan untuk
menunjukkan satuan maknawi tertentu.
f.
Abdul
Wahhab Khallaf
Mendefinisikan
yaitu lafal yang dipakai untuk
menunjukkan seseorang, misalnya Muhammad atau semacamnya misalnya
laki-laki.[25]
Jadi
pengertian al-Khash menurut penulis sendiri adalah suatu lafal yang
telah jelas hukum yang terkandung di dalam nash, baik itu al-Qur’an maupun
hadis Nabi sendiri, sebelum ada dalil yang menghendaki arti lain, hukum yang
diambil dari khash ini adalah pasti (qath’i) bukan zhanny.[26]
Adapun
Pengkhususan(التَّخْصِيْصِ)secara
bahasa : (ضِدُّ التَّعْمِيْمِ)lawan dari
pengumuman. Dan secara istilah Takhshish ialah:
إِحْراَجُ
بَعْضِ كاَنَ داَخِلاً تَحْتَ الْعُمُوْمِ عَلىَ تَقْدِيْرِ عَدَمِ المُخَصَّصِ
“Mengeluarkan
sebagian apa-apa yang termasuk dalam yang umum itu menurut ukuran ketika tidak
terdapat mukhasis”
2.
Bentuk-Bentuk Mukhasshis
Mukhashish ada dua macam yaitu:
a)
Mukhasshish
Muttasil
Mukhasshish
yang bersambung adalah apabila makna satu dalil yang mengkhususkan, berhubungan
erat/bergantung pada kalimat umum sebelumnya.
Adapun beberapa macam Mukhasshish muttasil antara lain :
v Pengecualian
Contoh firman Allah Surat Al-Ashar ayat 2-3 :
إِنَّالْإِنْسَانَلَفِيخُسْرٍ
(2) إِلَّاالَّذِينَآمَنُواوَعَمِلُواالصَّالِحَاتِوَتَوَاصَوْابِالْحَقِّوَتَوَاصَوْابِالصَّبْرِ
(3)
“Sungguh,
manusia berada dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk
kesabaran. (Al-‘Ashr: 2- 3)[27]
Jadi yang dikhususkan pada ayat tersebut adalah orang-orang yang
beriman dan yang beramal Sholeh.
v Syarat (الشرط)
وَبُعُولَتُهُنَّأَحَقُّبِرَدِّهِنَّفِيذَلِكَإِنْأَرَادُواإِصْلَاحًا
“………dan
para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika
mereka (para suami) menghendaki perbaikan.” (Qs Al- Baqarah
:228)[28]
Dalam ayat tersebut dikatakan, lebih berhak kembali pada
istrinya. Maksudnya adalah dalam
masa iddah, tetapi dengan syarat bila kembalinya itu dengan maksud ialah lafaz
yang menujukakan pada ayat tersebut adalah “Jika” (إنْ)
v Sifat ( الصِّفَةُ )
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَاءً فَتَحْرِيْرُ
رَقَبَةً مُؤْمِنَةٍ
“Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah
(hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.” (Qs. Al-
An-Nisa’: 92)[29]
Sifat yang mengkhususkan dalam ayat tersebut adalah sifat mukmin
yakni yang diremehkan itu harus/dikhususkan pada hamba yang mukmin.
v Kesudahan (الغاية)
Contoh firman Allah :
وَلَاتَقْرَبُوهُنَّحَتَّىيَطْهُرْنَ
"....dan jangan kamu dekati mereka, sebelum mereka suci ...
(Q.S Al- baqarah: 222)[30]
v Sebagai Ganti Keseluruhan (بَدَلُ البَعْضِ مِنْ الكُلِّ)
Contoh firman Allah :
وَلِلَّهِعَلَىالنَّاسِحِجُّالْبَيْتِمَنِاسْتَطَاعَإِلَيْهِسَبِيلًا
“Dan
(di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke
Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke
sana…”(Ali-Imran: 97)[31]
Lafazh (مَنْ) dan sesudahnya pada ayat tersebut ,
menghususkan keumuman sebelumnya, arti sebagian orang yang ‘mampu’mengganti,
keumuman wajibnya manusia untuk haji.
b)
Mukhasshish
Munfasil
Mukhasshish Munfasiladalah
dalil umum / makna dalil yang sama dengan dalil atau makna dalil yang
mengkhususkannya, masing- masing berdiri sendiri, Yakni tidak berkumpul tetapi
terpisah.Mukhasshish Munfasil ada beberapa macam :
v Al-Qur’an di- Takhshish dengan Al-Qur’an
Contohnya firman Allah :
وَالْمُطَلَّقَاتُيَتَرَبَّصْنَبِأَنْفُسِهِنَّثَلَاثَةَقُرُوءٍ
“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka
(menunggu) tiga kali quru.” (Q.S A1-Baqarah : 228)[32]
Ayat tersebut, umum : tercakup juga orang hamil makea datang ayat,
lain yang mengkhususkan bagi wanita hamil yang berbunyi:
وَاللَّائِيلَمْيَحِضْنَوَأُولَاتُالْأَحْمَالِأَجَلُهُنَّأَنْيَضَعْنَحَمْلَهُنَّ
“ ……. dan begitu perempuan-perempuan yang tidak haid. sedangkan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu sampai mereka melahirkan
kandungannya. (Q.S Al- Talaq: 4)[33]
v Al-Qur’an di- Takhshish dengan Sunnah. Contoh firman Allah :
يُوصِيكُمُاللَّهُفِيأَوْلَادِكُمْلِلذَّكَرِمِثْلُحَظِّالْأُنْثَيَيْنِ
“Allah mensyari'atkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian
warisanuntuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan” (An- Nisaa: 11)[34]
Ayat tersebut bersifat umum, yakni mencakup anak yang kafir,
kemudian dataing hadist yang mengkususkannya berbunyi:
لاَ يُرِثُ المُسْلِمُ الكاَفِرِ وَلاَ
الكاَفِرِ المُسْلِمِ
“Tidak boleh mewarisi seseorang musulim puda seorang kafir, dan
tidak boleh (juga) kafir pada muslim (HR. Bukhari)
v Sunnah di-Takhshish dengan Al-Qur’an
v Sunnah di-Takhshish dengan Sunnah
v Men- Takhshish dengan Qiyas
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ
“Menunda-nunda pembayaran bagi orang yang mampu, halal dilanggar
kehormatannya dan boleh dihukum" (HR. Ahmad)
Hadist tersebut ialah umum, yakni siapa saja yang menunda-nunda
pembayaran hutang, padahal ia mampu untuk membayar, termasuk ibu atau bapak.
Kemudian dikhususkan, yakni bukan termasuk ibu dan bapak dengan jalan
meng-Qiyas firman Allah yang berbunyi :
فَلَاتَقُلْلَهُمَاأُفٍّ
“Maka sekali-kali
Janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" (Qs
Al-Isra: 23)[35]
Tidak boleh
memukul melanggar kehormatan kedua orang tua adalah hasil Qiyas dari larangan
mencakup "ah" terhadap-Nya. Karena memukul atau melanggar kehormatan,
lebih tinggi kadar menyakitkannya dari pada mengucap "ah". Qiyas yang
demikian dinamakan Qiyas Qulawi. Sebagian ulama berpandangan bahwa yang demkian
bukan dinamakan Qiyas Qulawi, tetapi diaebut Mafhum Muwafaqah.
D.
Penjelasan Ayat ‘Am Yang Sudah
Ditakhsis, Apakah Masih Merupakan Dalil/Hujjah?
Tidak sedikit lafazh ‘am yang
terdapat di dalam Al Qur’an maupun hadits Nabi. Hal ini tentu menimbulkan
pertanyaan, bagaimana kedudukan lafazh ‘am khususnya yang berkenaan
dengan perbuatan yang dapat dihukumi. Ternyata polemik mengenai hal ini telah
menjadi topik yang ramai diperbincangkan oleh para ulama sejak berabad-abad
silam. Di antara pendapat para ulama yakni:
1.
Jumhur ulama menyatakan
keharusan mencari dalil takhsis terlebih dahulu dan tidak
mengamalkan lafazh ‘am sebelum hal tersebut dilakukan. Jika memang
tidak ditemukan dalil yang mengkhususkannya, baru wajib mengamalkan lafazh yang
‘am.[36]
2.
Pendapat lain mengatakan
bahwa wajib mengamalkan lafazh ‘am tanpa menunggu adanya penjelasan
ataupun takhsisnya.
Mengenai pendapat di
atas, penulis cukup sepakat dengan pendapat jumhur ulama bahwa apabila
ditemukan lafazh yang ‘am selayaknya dicari terlebih dahulu dalil
lain yang mentakhsisnya. Hal ini berkesesuaian dengan sebuah kaidah di
dalam ilmu fikih.
اْلعَامُّ بَعْدَ التَّخْصِيْصِ حُجَّةٌ فِى
اْلب اْلعَامُّ بَعْدَ التَّخْصِيْصِ حُجَّةٌ فِى اْلبَاقِى
“’Am yang telah dikhususkan maka
selebihnya dapat dijadikan hujjah”.[37]
Contoh firman Allah
dalam surat al A’raf ayat 32 dimana Allah memperbolehkan manusia untuk memakai segala
perhiasan. Namun hal tersebut ditakhsis oleh sabda Nabi, sehingga
memakai perhiasan yang terbuat dari emas dan perak adalah haram bagi laki-laki.
Sedangkan apabila masih belum ditemukan dalil lain yang mentakhsiskannya
setelah proses pencarian, maka wajib hukumnya untuk mengamalkan keumuman lafazh
dari suatu nash hingga akhirnya ditemukan dalil yang mengkhususkan, sebagaimana
yang dijelaskan oleh Syaikh Utsaimin, seorang ulama Hijaz, dalam bukunya al
Ushul min ‘Ilmil Ushul.[38]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
‘Am(العَامُ)adalahsuatu lafadz yang menunjukan satu makna yang mencakup seluruh
satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Atau juga lafadz yang
menunjukan dimana ditempatkan secara lughowi dan semuanya itu
berlaku untuk
semua
ifradnya.
Adapun Bentuk-bentuk
(Shigat-shigat) ‘Am, yaitu:
v Lafadz Kullun(كُلٌّ),
Jami’un(جَمِيْعٌ),Kaaffah(كَافَّةً), Ma’syar(مَعْشَرَ).
v Isim Istifham ialah مَنْ
(siapa), مَا (apa), أَيْنَ
(dimana), أَيٌّ (siapakah), dan مَتَى
(kapan).
v Isim Mufrad yang makrifat dengan alif
lam(ال)
atau idhafah.
v Jama’ yang dita’rifkan
(makrifat) dengan alif lam atau dengan idhafah.
v Isim Nakirah yang terletak
sesudah Nafi.
v
Isim maushulالَّذِي), الَّذِينَ,الَّتِى,(اللَّاتِيْ
2.
Pembagian ‘Am(العَامُ), yaitu:
a.
Umum
Syumuliy:Yaitu semua
lafazh yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku bagi seluruh pribadi
b.
Umum
Badaliy:Bagi suatu
lafaz yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku seperti Afrad
(pribadi)
‘Am(العَامُ)juga
terbagi menjadi tiga:
v Pertama adalah ‘am yang dimaksud secara qathi’ umum
v Kedua adalah ‘am yang dimaksud secara qathi khusus
v Ketiga adalah ‘am makhsus
3.
Khash adalah Lafadz yang dari segi kebahasan, ditentukan untuk satu arti
secara mandiri. Lafadz khash telah mengandung makna yang jelas baik jenis, jumlah, bentuk maupun
ketentuan lainnya.
Sedangkan Takhshish
adalah mengeluarkan sebagian apa-apa yang termasuk dalam yang umum itu menurut
ukuran ketika tidak terdapat mukhasis.
Adapun Bentuk-Bentuk Mukhasshis, yaitu:
v Mukhasshis Muttasil
adalah apabila makna satu dalil yang mengkhususkan, berhubungan erat/bergantung
pada kalimat umum sebelumnya. Dan macam-macamnya berupa:
-
Pengecualian
-
Syarat
(الشرط)
-
Sifat
(الصِّفَةُ)
-
Kesudahan
(الغاية)
-
Sebagai
Ganti Keseluruhan (بَدَلُ البَعْضِ مِنْ الكُلِّ)
v MukhasshisMunfasiladalah
dalil umum / makna dalil yang sama dengan dalil atau makna dalil yang
mengkhususkannya, masing- masing berdiri sendiri. Yakni tidak berkumpul tetapi
terpisah. Dan macam-macamnya berupa: Al-Qur’an di- Takhshish dengan Al-Qur’an;
Al-Qur’an di- Takhshish dengan Sunnah; Sunnah di- Takhshish dengan Al-Qur’an;
Sunnah di- Takhshish dengan Sunnah; Men- Takhshish dengan Qiyas
4. Ayat
‘Am yang sudah diTakhsis, apakah masih merupakan dalil/Hujjah?: Apabila ditemukan lafazh yang ‘am selayaknya dicari terlebih
dahulu dalil lain yang mentakhsisnya. Hal ini berkesesuaian dengan
sebuah kaidah di dalam ilmu fikih.
اْلعَامُّ بَعْدَ التَّخْصِيْصِ حُجَّةٌ فِى
اْلب اْلعَامُّ بَعْدَ التَّخْصِيْصِ حُجَّةٌ فِى اْلبَاقِى
“’Am yang telah
dikhususkan maka selebihnya dapat dijadikan hujjah”
DAFTAR PUSTAKA
Al-Utsaimin,
Muhammad. 2008. Ushul Fiqih (terjemah). Jogjakarta: Media
Hidayah
As’ad,
Abdul Wahid Mahrus. 2006. Memahami Fiqih. Bandung: Armico
Departemen
Agama RI. 2008. Al-Qur’an dan Terjemahnya.Bandung: Diponegoro
Efendi,
Satria. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. 3
Handayani.Makalah-
Ushul Fiqh- Lafal Al-
Khallaf, Abdul
Wahab. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Rineka Cipta
Syafe’i,
Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih.Bandung: Pustaka Setia
Syarifuddin,
Amir. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. 5
Syarifuddin, Amir.
2009. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kencana, cet. 5
Umam, Khairul dan Ahyar
Aminudin. 2001. Ushul Fiqih II. Bandung: Pustaka Setia, cet. 2
Usman, Muchlis.2002.
Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
cet. 4
[2]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia,
2007), hlm. 193
[3]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Jakarta: Rineka
Cipta, 1999), hlm. 225
[4]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2008), hlm. 74
[9]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2008), hlm. 98
[14]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2008), hlm. 78
[17]Abdul Wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hlm. 231-233
[18]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2008), hlm. 222
[21]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2008), hlm. 36
[22]Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet ke-5,
2009), hlm. 87
[23]Abdul Wahid
Mahrus As’ad, Memahami Fiqih (Bandung: Armico, 2006), hlm. 78
[24]Satria Efendi, Ushul
Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet ke-3, 2009), hlm. 205
[25]Abdul wahab khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Rineka Cipta,
2005), hlm. 241
[27]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2008), hlm. 601
[29]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2008), hlm. 93
[32]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2008), hlm. 36
[35]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2008), hlm. 284
[37]Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah
Istinbath Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. IV, 2002), hlm.
43.
[38]Muhammad al Utsaimin, Ushul Fiqih (terjemah) (Jogjakarta:
Media Hidayah, 2008), hlm. 58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar