Kamis, 05 November 2015

MAKALAH USHUL FIQH

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Konteks Syar’iyyah di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis merupakan dua sumber hukum yang redaksinya menetapkan hukum syar’i. Dalam menggali nilai-nilai hukum pada sumber tersebut, tidak sepatutnya seseorang langsung menukil darinya tanpa terlebih dahulu menimbangnya. Padahal tidak semua lafazh yang ada mudah dipahami sehingga memungkinkan untuk langsung diambil. Ada beberapa pengklasifikasian lafazh yang ada di dalam nash syar’i yang selayaknya ditafsirkan terlebih dahulu.
Konteks Al-Qur’an dan Al-Hadis tersebut bisa  berupa lafadz umum  atau khusus. Lafadz yang umum atau al-‘am, ketetapan hukumnya harus diartikan kepada semua satuannya secara pasti bila disana tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Jika terdapat dalil yang mengkhususkan maka mengenai arahan hukumnya apakah pasti (qoth’iy) atau dugaan (dzonny).
Al-Qur’an dan Al-Hadis juga ada yang berupa lafadz khusus (khash), maka hukum bisa ditetapkan secara pasti selama tidak ada dalil yang mentakwilkan atau memindahkan dan menghendaki arti yang lain. Dalam lafadz khash ini terdapat lafadz mutlak yang dapat menetapkan hukum secara absolute dengan catatan tidak ada dalil yang mengikatnya. Jika lafadz itu berbentuk perintah (‘amar), maka obyek yang diperintahkannya wajib, atau berbentuk larangan (nahi) maka obyek yang dilarang itu haram. Hal tersebut bila tidak ada dalil yang merubah dari keharusannya atau ketidak bolehannya.
            Pada makalah ini selanjutnya, penulis akan membahas beberapa hal berkenaan dengan lafazh yang ‘am dan Khash. Diharapkan dengan mengkaji dan memahami lafazh ‘am dan Khash, seseorang tidak lagi gegabah dalam menarik sebuah nash sebagai sebuah landasan dalam berbuat.


B.       Rumusan Masalah
1.        Apa Pengertian Lafadz ‘Am dan Apa Saja Shigat-Shigatnya?
2.        Apa Saja Pembagian‘Am?
3.        Apa Pengertian Lafadz Khashdan Apa Saja Bentuk-Bentuk Mukhasshish?
4.        Apakah Ayat ‘Am Yang Sudah Di-takhsis Masih Merupakan Dalil/Hujjah?
C.      Tujuan Masalah
1.        Untuk Mengetahui Pengertian Lafadz ‘Am Dan Shigat-Shigatnya.
2.        Untuk Mengetahui Pembagian ‘Am.
3.        Untuk Mengetahui Pengertian Lafadz Khash Dan Bentuk – Bentuk Mukhasshish.
4.        Untuk Mengetahui Penjelasan Ayat ‘Am Yang Sudah Ditakhsis.




BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Ayat Yang ‘Am Dan Shighat-Shighatnya
1.        Pengertian ‘Am
Secara bahasa ‘Am berartimerata atau yang umum.[1]Sedangkan secara istilah ‘Am ialah suatu lafadz yang menunjukan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.[2] Atau juga lafadz yang menunjukan dimana ditempatkan secara lughowi dan semuanya itu berlaku untuk semua ifradnya.[3] Para  ulama Usul Fiqih memberikan definisi ‘am antara lain sebagaiberikut:
a.         Menurut ulama Hanafiyah adalah setiap lafadz yang mencakup banyak, baik secara lafadz maupun makna.
b.        Menurut ulama Syafi’iyyah, diantaranya Al-Ghazali adalah satu lafadz yang  dari satu segi menunjukan dua makna atau lebih.
c.         Menurut Al-Bazdawiadalah lafadz yang mencakup semua yang  cocok untuk lafadz tersebut dengan satu kata.

2.        Bentuk-bentuk (Shigat-shigat) ‘Am
Bentuk-bentuk umum ada tujuh :
a.         Lafadz Kullun,jami’un, kaaffah, ma’asyar (artinya seluruhnya) Masing-masing lafal tersebut meliputi segala yang menjadi mudhaf ilaihi dari lafadh-lafadh itu. Contohnya :

v   Kullun(كُلٌّ)
كُلُّنَفْسٍذَائِقَةُالْمَوْتِ
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati.”(Q.S.Ali Imran : 185)[4]
v   Jami’un(جَمِيْعٌ)
هُوَالَّذِيخَلَقَلَكُمْمَافِيالْأَرْضِجَمِيعًا
“Dialah (Allah) yang menciptakan untukmu apa yang ada dibumi, semuanya.” (QS Al Baqarah : 29)[5]
v   Kaaffah(كَافَّةً)
وَمَاأَرْسَلْنَاكَإِلَّاكَافَّةًلِلنَّاسِ
“Dan kami tidak mengutus engkau (muhammad), melainkan kepada semua umatmanusia.” (QS. Saba’ : 28)[6]
v   Ma’syar(مَعْشَرَ)
يَامَعْشَرَالْجِنِّوَالْإِنْسِأَلَمْيَأْتِكُمْرُسُلٌمِنْكُمْيَقُصُّونَعَلَيْكُمْآيَاتِيوَيُنْذِرُونَكُمْلِقَاءَيَوْمِكُمْهَذَا
“Wahai golongan jin dan manusia! bukankah sudah datang kepadamurasul-rasul dari kalangan-mu sendiri, mereka menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku kepadamu dan memperingatkanmu tentang pertemuan pada hari ini? (QS. Al-An’am : 130)[7]
b.        Isim Istifhamialah مَنْ (siapa), مَا (apa), أَيْنَ (dimana), أَيٌّ (siapakah), dan مَتَى (kapan). Contohnya :
مَتَىنَصْرُاللَّهِأَلَاإِنَّنَصْرَاللَّهِقَرِيبٌ
“Kapankah datang pertolongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” (QS. Al-Baqarah: 214)[8]
c.         Isim Isyarat, seperti مَنْ (barang siapa), مَا (apa saja), dan أَيٌّ (yang mana saja). Contohnya :
مَنْيَعْمَلْسُوءًايُجْزَبِهِ
“Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan dibalas sesuai dengan kejahatan itu.” (QS. An-Nisa’: 123)[9]
d.        Isim Mufrad yang makrifat dengan alif lam(ال) atau idhafah,Contohnya:
أَحَلَّاللَّهُالْبَيْعَوَحَرَّمَالرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)[10]
e.         Jama’ yang dita’rifkan (makrifat) dengan alif lam atau dengan idhafah:
Contohnya :
v   Makrifat dengan alif lam(ال)
إِنَّاللَّهَيُحِبُّالْمُقْسِطِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (QS. Al-Maidah: 42)[11]
v   Makrifat dengan idhafah : 
حُرِّمَتْعَلَيْكُمْأُمَّهَاتُكُمْ
“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu.” (QS. An-Nisa’: 23)[12]
f.         Isim Nakirah yang terletak sesudah Nafi,Contohnya :
وَاتَّقُوايَوْمًالَاتَجْزِينَفْسٌعَنْنَفْسٍشَيْئًا
“Dan takutlah kamu pada hari,(ketika) tidak seorang pun dapat membela orang lain sedikit pun.” (QS. Al-Baqarah: 48)[13]


g.        Isim Maushul (الَّذِي, الَّذِينَ,الَّتِى,اللَّاتِيْ)
إِنَّالَّذِينَيَأْكُلُونَأَمْوَالَالْيَتَامَىظُلْمًاإِنَّمَايَأْكُلُونَفِيبُطُونِهِمْنَارًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya.” (QS. An-Nisa’: 10)[14]
B.       Pembagian ‘Am
‘Am terbagi menjadi 2, yaitu:
a)        Umum Syumuliy
Yaitu semua lafazh yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku bagi seluruh pribadi, seperti :
يَاأَيُّهَاالنَّاسُاتَّقُوارَبَّكُمُالَّذِيخَلَقَكُمْمِنْنَفْسٍوَاحِدَةٍ
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari diri yang satu (adam).”  (Qs. A n-Nissa’: 1)[15]
Dalam Ayat ini seluruh manusia dituntut untuk bertakwa tanpa kecuali, maka lafaz yang seperti ini dinamakan umumSyumuliy.
b)        Umum Badaliy
Bagi suatu lafaz yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku seperti Afrad (pribadi) seperti :
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواكُتِبَعَلَيْكُمُالصِّيَامُكَمَاكُتِبَعَلَىالَّذِينَمِنْقَبْلِكُمْلَعَلَّكُمْتَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (Q.S. Al-Baqarah: 183)[16]
Sedangkan dalam ketetapan nash, bahwa ‘am itu terbagi menjadi tiga:[17]
v  Pertama adalah ‘am yang dimaksud secara qathi’ umum. Yaitu ‘am yang  didampingi oleh qarinah, menafikan sasaran yang ditakhsiskan, seperti ‘am yang  terdapat pada firman Alloh Swt :
وَمَامِنْدَابَّةٍفِيالْأَرْضِإِلَّاعَلَىاللَّهِرِزْقُهَا
“Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. (QS. Hud: 06).[18]
وَجَعَلْنَامِنَالْمَاءِكُلَّشَيْءٍحَيٍّ
“Dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air.” (QS. Al-Anbiya’:30)[19]
Pada kedua ayat ini orang menetapkan bahwa sudah menjadi sunnatulloh ada ‘am yang tidak ditakhasiskan dan tidak pula dipertukarkan letaknya. Pada kedua ayat ini terdapat ‘am qathi’ menunjuk kepada umum. Tidak mengandung hal yang dimaksud khusus dengannya.
v  Kedua adalah ‘am yang dimaksud secara qathi khusus.Yaitu apa yang didampingi dengan qarinah, pada umumnya tetap menafikan dan menyatakan maksud sebagian dari ifradnya itu. Seperti firmanAllah yang berbunyi:
وَلِلَّهِعَلَىالنَّاسِحِجُّالْبَيْتِ
“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap AllahadalahMelaksanakan ibadah haji ke Baitullah.” (QS. Ali-Imran:97).[20]
Manusia pada nash ini adalah umum. Dimaksud dengannya itu khusus para mukallaf. Menurut akal, tidak termasuk anak-anak dan orang gila.
v  Ketiga adalah ‘am makhsus. Yaitu ‘am mutlak yang  tidak didampingi oleh qarinah, meniadakan hal-hal yang ditakhsiskan. Tidak ada qarinah yang  menafikan dalilnya terhadap umum. Misalnya kebanyakan nash yang  terdapat padanya  sighat umum. Terlepas dari qarinah-qarinah lafdziah atau aqliah atau arfiah yang  menyatakan umum, sebelum dikemukakan dalil yang mentakhsiskannya. Misalnya, perempuan-perempuan yang  ditalak oleh suaminya harus menunggu (iddah).
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru.” (Al-Baqarah: 228).[21]
C.      Pengertian Khash Dan Bentuk-Bentuk Mukhasshis
1.        Pengertian Khash
اللَّفْظُ الَّذِيْ وُضِعَ لِمَعْنىً وَاحِدِ عَلَى سَبِيْلِ اْلإِنْفِرَادِ
“Lafadz yang dari segi kebahasan, ditentukan untuk satu arti secara mandiri.”[22]
Menurut bahasa khash artinya tertentu, sedangkan menurut istilah ushul fiqih khash ialah lafadz  khash  telah mengandung makna yang  jelas baik jenis, jumlah, bentuk maupun ketentuan lainnya. Jika suatu nas mengandung arti khash maka dapat ditetapkan sebuah hukum yang pasti. Selama tidak terdapat dalil yang mentakwilnya, atau menghendaki arti lain dari padanya.[23]
Pengertian khash (khusus) adalah lawan dari pengertian ‘am (umum). Dengan demikian bila telah memahami pengertian lafazh ‘am secara tidak lansung, juga dapat memahami pengertian lafazh khash.
Pengertian al-khash menurut para tokoh-tokoh ushul fiqh adalah sebagai berikut:
a.        Adib Shalih
Mendefenisikan Lafal al-Khash yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas.

b.        Abu Zahra
Mendefenisikan Lafal al-Khash dalam nash syara’, menunjukan kepada pengertianya yang yang khas secara qaht’i (pasti) dan hukum yang terkandung dikandungya bersifat pasti (qaht’i) selama tidak ada indikasi yangmenunjukan pengertian lain. Pendapat Abu Zahra ini disepakati oleh para ulama Ushul Fiqh.[24]
c.         Al Amidi
Mendefinisikan al-Khash adalah satu lafazh yang tidak patut digunakan bersama oleh jumlah yang banyak.
d.        Al Khudahari Beik
Mendefinisikan al-Khash adalah lafazh yang dari segi kebahasaan ditentukan untuk satu arti secara mandiri.
e.         Abdul Wahhab Abdul Salam Thawilah
Berpendapat bahwa setiap lafal yang diungkapkan  untuk menunjukkan satuan maknawi tertentu.
f.          Abdul Wahhab Khallaf
Mendefinisikan yaitu lafal yang dipakai untuk  menunjukkan seseorang, misalnya Muhammad atau semacamnya misalnya laki-laki.[25]
Jadi pengertian al-Khash menurut penulis sendiri adalah suatu lafal yang telah jelas hukum yang terkandung di dalam nash, baik itu al-Qur’an maupun hadis Nabi sendiri, sebelum ada dalil yang menghendaki arti lain, hukum yang diambil dari khash ini adalah pasti (qath’i) bukan zhanny.[26]
Adapun Pengkhususan(التَّخْصِيْصِ)secara bahasa : (ضِدُّ التَّعْمِيْمِ)lawan  dari  pengumuman. Dan secara istilah Takhshish ialah:



إِحْراَجُ بَعْضِ كاَنَ داَخِلاً تَحْتَ الْعُمُوْمِ عَلىَ تَقْدِيْرِ عَدَمِ المُخَصَّصِ
“Mengeluarkan sebagian apa-apa yang termasuk dalam yang umum itu menurut ukuran ketika tidak terdapat mukhasis”
2.        Bentuk-Bentuk Mukhasshis
Mukhashish ada dua macam yaitu:
a)        Mukhasshish Muttasil
Mukhasshish yang bersambung adalah apabila makna satu dalil yang mengkhususkan, berhubungan erat/bergantung pada kalimat umum sebelumnya.
Adapun beberapa macam Mukhasshish muttasil antara lain :
v  Pengecualian
Contoh firman Allah Surat Al-Ashar ayat 2-3 :
إِنَّالْإِنْسَانَلَفِيخُسْرٍ (2) إِلَّاالَّذِينَآمَنُواوَعَمِلُواالصَّالِحَاتِوَتَوَاصَوْابِالْحَقِّوَتَوَاصَوْابِالصَّبْرِ (3)
“Sungguh, manusia berada dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran. (Al-‘Ashr: 2- 3)[27]
Jadi yang dikhususkan pada ayat tersebut adalah orang-orang yang beriman dan yang beramal Sholeh.
v  Syarat (الشرط)
وَبُعُولَتُهُنَّأَحَقُّبِرَدِّهِنَّفِيذَلِكَإِنْأَرَادُواإِصْلَاحًا
“………dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka (para suami) menghendaki perbaikan.” (Qs Al- Baqarah :228)[28]
Dalam ayat tersebut dikatakan, lebih berhak kembali pada istrinya. Maksudnya adalah dalam masa iddah, tetapi dengan syarat bila kembalinya itu dengan maksud ialah lafaz yang menujukakan pada ayat tersebut adalah “Jika” (إنْ)
v  Sifat ( الصِّفَةُ )
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَاءً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةً مُؤْمِنَةٍ
“Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.” (Qs. Al- An-Nisa’: 92)[29]
Sifat yang mengkhususkan dalam ayat tersebut adalah sifat mukmin yakni yang diremehkan itu harus/dikhususkan pada hamba yang mukmin.
v  Kesudahan (الغاية)
Contoh firman Allah :
وَلَاتَقْرَبُوهُنَّحَتَّىيَطْهُرْنَ
"....dan jangan kamu dekati mereka, sebelum mereka suci ... (Q.S Al- baqarah: 222)[30]
v  Sebagai Ganti Keseluruhan (بَدَلُ البَعْضِ مِنْ الكُلِّ)
Contoh firman Allah :
وَلِلَّهِعَلَىالنَّاسِحِجُّالْبَيْتِمَنِاسْتَطَاعَإِلَيْهِسَبِيلًا
“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana…”(Ali-Imran: 97)[31]
Lafazh (مَنْ) dan sesudahnya pada ayat tersebut , menghususkan keumuman sebelumnya, arti sebagian orang yang ‘mampu’mengganti, keumuman wajibnya manusia untuk haji.

b)        Mukhasshish Munfasil
Mukhasshish Munfasiladalah dalil umum / makna dalil yang sama dengan dalil atau makna dalil yang mengkhususkannya, masing- masing berdiri sendiri, Yakni tidak berkumpul tetapi terpisah.Mukhasshish Munfasil ada beberapa macam :
v  Al-Qur’an di- Takhshish dengan Al-Qur’an
Contohnya firman Allah :
وَالْمُطَلَّقَاتُيَتَرَبَّصْنَبِأَنْفُسِهِنَّثَلَاثَةَقُرُوءٍ
“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru.” (Q.S A1-Baqarah : 228)[32]
Ayat tersebut, umum : tercakup juga orang hamil makea datang ayat, lain yang mengkhususkan bagi wanita hamil yang berbunyi:
وَاللَّائِيلَمْيَحِضْنَوَأُولَاتُالْأَحْمَالِأَجَلُهُنَّأَنْيَضَعْنَحَمْلَهُنَّ
“ ……. dan begitu perempuan-perempuan yang tidak haid. sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya. (Q.S Al- Talaq: 4)[33]
v  Al-Qur’an di- Takhshish dengan Sunnah. Contoh firman Allah :
يُوصِيكُمُاللَّهُفِيأَوْلَادِكُمْلِلذَّكَرِمِثْلُحَظِّالْأُنْثَيَيْنِ
“Allah mensyari'atkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisanuntuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan” (An- Nisaa: 11)[34]
Ayat tersebut bersifat umum, yakni mencakup anak yang kafir, kemudian dataing hadist yang mengkususkannya berbunyi:

لاَ يُرِثُ المُسْلِمُ الكاَفِرِ وَلاَ الكاَفِرِ المُسْلِمِ
“Tidak boleh mewarisi seseorang musulim puda seorang kafir, dan tidak boleh (juga) kafir pada muslim (HR. Bukhari)
v  Sunnah di-Takhshish dengan Al-Qur’an
v  Sunnah di-Takhshish dengan Sunnah
v  Men- Takhshish dengan Qiyas
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ 
“Menunda-nunda pembayaran bagi orang yang mampu, halal dilanggar kehormatannya dan boleh dihukum" (HR. Ahmad)
Hadist tersebut ialah umum, yakni siapa saja yang menunda-nunda pembayaran hutang, padahal ia mampu untuk membayar, termasuk ibu atau bapak. Kemudian dikhususkan, yakni bukan termasuk ibu dan bapak dengan jalan meng-Qiyas firman Allah yang berbunyi :
فَلَاتَقُلْلَهُمَاأُفٍّ
“Maka sekali-kali Janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" (Qs Al-Isra: 23)[35]
Tidak boleh memukul melanggar kehormatan kedua orang tua adalah hasil Qiyas dari larangan mencakup "ah" terhadap-Nya. Karena memukul atau melanggar kehormatan, lebih tinggi kadar menyakitkannya dari pada mengucap "ah". Qiyas yang demikian dinamakan Qiyas Qulawi. Sebagian ulama berpandangan bahwa yang demkian bukan dinamakan Qiyas Qulawi, tetapi diaebut Mafhum Muwafaqah.

D.      Penjelasan Ayat ‘Am Yang Sudah Ditakhsis, Apakah Masih Merupakan Dalil/Hujjah?
Tidak sedikit lafazh ‘am yang terdapat di dalam Al Qur’an maupun hadits Nabi. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, bagaimana kedudukan lafazh ‘am khususnya yang berkenaan dengan perbuatan yang dapat dihukumi. Ternyata polemik mengenai hal ini telah menjadi topik yang ramai diperbincangkan oleh para ulama sejak berabad-abad silam. Di antara pendapat para ulama yakni:
1.        Jumhur ulama menyatakan keharusan mencari dalil takhsis terlebih dahulu dan tidak mengamalkan lafazh ‘am sebelum hal tersebut dilakukan. Jika memang tidak ditemukan dalil yang mengkhususkannya, baru wajib mengamalkan lafazh yang ‘am.[36]
2.        Pendapat lain mengatakan bahwa wajib mengamalkan lafazh ‘am tanpa menunggu adanya penjelasan ataupun takhsisnya.
Mengenai pendapat di atas, penulis cukup sepakat dengan pendapat jumhur ulama bahwa apabila ditemukan lafazh yang ‘am selayaknya dicari terlebih dahulu dalil lain yang mentakhsisnya. Hal ini berkesesuaian dengan sebuah kaidah di dalam ilmu fikih.
اْلعَامُّ بَعْدَ التَّخْصِيْصِ حُجَّةٌ فِى اْلب اْلعَامُّ بَعْدَ التَّخْصِيْصِ حُجَّةٌ فِى اْلبَاقِى
’Am yang telah dikhususkan maka selebihnya dapat dijadikan hujjah”.[37]
Contoh firman Allah dalam surat al A’raf ayat 32 dimana Allah memperbolehkan manusia untuk memakai segala perhiasan. Namun hal tersebut ditakhsis oleh sabda Nabi, sehingga memakai perhiasan yang terbuat dari emas dan perak adalah haram bagi laki-laki. Sedangkan apabila masih belum ditemukan dalil lain yang mentakhsiskannya setelah proses pencarian, maka wajib hukumnya untuk mengamalkan keumuman lafazh dari suatu nash hingga akhirnya ditemukan dalil yang mengkhususkan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Utsaimin, seorang ulama Hijaz, dalam bukunya al Ushul min ‘Ilmil Ushul.[38]


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.        ‘Am(العَامُ)adalahsuatu lafadz yang menunjukan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Atau juga lafadz yang


menunjukan dimana ditempatkan secara lughowi dan semuanya itu berlaku untuk


semua ifradnya.
Adapun Bentuk-bentuk (Shigat-shigat) ‘Am, yaitu:
v  Lafadz Kullun(كُلٌّ), Jami’un(جَمِيْعٌ),Kaaffah(كَافَّةً), Ma’syar(مَعْشَرَ).
v  Isim Istifham ialah مَنْ (siapa), مَا (apa), أَيْنَ (dimana), أَيٌّ (siapakah), dan مَتَى (kapan).
v  Isim Isyarat, seperti مَنْ (barang siapa), مَا (apa saja), dan أَيٌّ (yang mana saja).
v  Isim Mufrad yang makrifat dengan alif lam(ال) atau idhafah.
v  Jama’ yang dita’rifkan (makrifat) dengan alif lam atau dengan idhafah.
v  Isim Nakirah yang terletak sesudah Nafi.
v  Isim maushulالَّذِي), الَّذِينَ,الَّتِى,(اللَّاتِيْ
2.        Pembagian ‘Am(العَامُ), yaitu:
a.         Umum Syumuliy:Yaitu semua lafazh yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku bagi seluruh pribadi
b.        Umum Badaliy:Bagi suatu lafaz yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku seperti Afrad (pribadi)
‘Am(العَامُ)juga terbagi menjadi tiga:
v  Pertama adalah ‘am yang dimaksud secara qathi’ umum
v  Kedua adalah ‘am yang dimaksud secara qathi khusus
v  Ketiga adalah ‘am makhsus

3.      Khash adalah Lafadz yang dari segi kebahasan, ditentukan untuk satu arti secara mandiri. Lafadz  khash  telah mengandung makna yang  jelas baik jenis, jumlah, bentuk maupun ketentuan lainnya.
Sedangkan Takhshish adalah mengeluarkan sebagian apa-apa yang termasuk dalam yang umum itu menurut ukuran ketika tidak terdapat mukhasis.
Adapun  Bentuk-Bentuk Mukhasshis, yaitu:
v  Mukhasshis Muttasil adalah apabila makna satu dalil yang mengkhususkan, berhubungan erat/bergantung pada kalimat umum sebelumnya. Dan macam-macamnya berupa:
-            Pengecualian
-            Syarat (الشرط)
-            Sifat (الصِّفَةُ)
-            Kesudahan (الغاية)
-            Sebagai Ganti Keseluruhan (بَدَلُ البَعْضِ مِنْ الكُلِّ)
v  MukhasshisMunfasiladalah dalil umum / makna dalil yang sama dengan dalil atau makna dalil yang mengkhususkannya, masing- masing berdiri sendiri. Yakni tidak berkumpul tetapi terpisah. Dan macam-macamnya berupa: Al-Qur’an di- Takhshish dengan Al-Qur’an; Al-Qur’an di- Takhshish dengan Sunnah; Sunnah di- Takhshish dengan Al-Qur’an; Sunnah di- Takhshish dengan Sunnah; Men- Takhshish dengan Qiyas

4.      Ayat ‘Am yang sudah diTakhsis, apakah masih merupakan dalil/Hujjah?: Apabila ditemukan lafazh yang ‘am selayaknya dicari terlebih dahulu dalil lain yang mentakhsisnya. Hal ini berkesesuaian dengan sebuah kaidah di dalam ilmu fikih.
اْلعَامُّ بَعْدَ التَّخْصِيْصِ حُجَّةٌ فِى اْلب اْلعَامُّ بَعْدَ التَّخْصِيْصِ حُجَّةٌ فِى اْلبَاقِى
’Am yang telah dikhususkan maka selebihnya dapat dijadikan hujjah”


DAFTAR PUSTAKA
Al-Utsaimin, Muhammad. 2008. Ushul Fiqih (terjemah). Jogjakarta: Media Hidayah
As’ad, Abdul Wahid Mahrus. 2006. Memahami Fiqih. Bandung: Armico
Departemen Agama RI. 2008. Al-Qur’an dan Terjemahnya.Bandung: Diponegoro
Efendi, Satria. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. 3
Handayani.Makalah- Ushul Fiqh- Lafal Al-
Khallaf, Abdul Wahab. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Rineka Cipta
Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih.Bandung: Pustaka Setia
Syarifuddin, Amir. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. 5
Syarifuddin, Amir. 2009. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kencana, cet. 5
Umam, Khairul dan Ahyar Aminudin. 2001. Ushul Fiqih II. Bandung: Pustaka Setia, cet. 2
Usman, Muchlis.2002. Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. 4




[1]Khairul Umam dan Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II (Bandung: Pustaka Setia, cet. II, 2001), hlm. 61
[2]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 193
[3]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hlm. 225
[4]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya  (Bandung: Diponegoro, 2008), hlm. 74
[5]Ibid., hlm. 05
[6]Ibid., hlm. 431
[7]Ibid., hlm. 144
[8]Ibid., hlm. 33
[9]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya  (Bandung: Diponegoro, 2008), hlm. 98
[10]Ibid., hlm. 47
[11]Ibid., hlm. 115
[12]Ibid., hlm. 81
[13]Ibid., hlm. 07
[14]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya  (Bandung: Diponegoro, 2008), hlm. 78
[15]Ibid., hlm. 77
[16]Ibid., hlm. 28
[17]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hlm. 231-233
[18]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya  (Bandung: Diponegoro, 2008), hlm. 222
[19]Ibid., hlm. 324
[20]Ibid., hlm. 62
[21]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya  (Bandung: Diponegoro, 2008), hlm. 36
[22]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet ke-5, 2009), hlm. 87
[23]Abdul Wahid Mahrus As’ad, Memahami Fiqih (Bandung: Armico, 2006), hlm. 78
[24]Satria Efendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet ke-3, 2009), hlm. 205
[25]Abdul wahab khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 241

[27]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya  (Bandung: Diponegoro, 2008), hlm. 601
[28]Ibid., hlm. 36
[29]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya  (Bandung: Diponegoro, 2008), hlm. 93
[30]Ibid., hlm. 35
[31]Ibid., hlm. 62
[32]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya  (Bandung: Diponegoro, 2008), hlm. 36
[33]Ibid., hlm. 558
[34]Ibid., hlm. 78
[35]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya  (Bandung: Diponegoro, 2008), hlm. 284
[36]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta: Kencana, cet. V, 2009), hlm. 83
[37]Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. IV, 2002), hlm. 43.
[38]Muhammad al Utsaimin, Ushul Fiqih (terjemah) (Jogjakarta: Media Hidayah, 2008), hlm. 58

Tidak ada komentar:

Posting Komentar