Selasa, 23 Desember 2014

MAKALAH PSIKOLOGI AGAMA

KONSEP UMUM PSIKOLOGI AGAMA
Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Psikologi Agama












Dosen Pembimbing:
Drs. H . Syaifuddin, M. Pd. I

Disusun oleh:
Ainul Yaqin                                       (D01213005)
M. Yahdi Abror                                (D91213160)
Shinta Akhlaqul Karimah                (D71213135)  
Nuril Hidayati                                    (D71212125)


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Manusia tampil dimuka bumi ini sebagai homo religius yang mempunyai makna bahwa ia memiliki sifat-sifat religius. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling dasar, manusia mempunyai dorongan dan kekuatan guna mendapatkan keamanan hidup pemenuhan kebutuhan di bidang keagamaan.
Pada hakekatnya manusia adalah makhluk yang spesifik, baik dilihat dari segi fisik maupun nonfisiknya. Ditinjau dari segi fisik, tidak ada makhluk lain yang memiliki tubuh sesempurna manusia. Sementara dari segi nonfisik manusia memiliki struktur ruhani yang sangat membedakan dengan makhluk lain.
Jasmani atau fisik manusia dikaji dan diteliti oleh disiplin anatomi, biologi, ilmu kedokteran maupun ilmu-ilmu lainnya, sedangkan jiwa manusia dipelajari secara khusus oleh psikologi.  Menurut asal katanya, psikologi berasal dari bahasa Yunani kuno, psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi psikologi adalah ilmu tentang jiwa. Para ahli psikologi modern saat ini tidak mengartikan psikologi sebagai ilmu tentang gejala dan aktivitas jiwa manusia. Manusia adalah suatu mahluk somato-psiko-sosial dan karena itu maka suatu pendekatan terhadap manusia harus menyangkut semua unsur somatik, psikologik, dan social.
Psikologi secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang jiwa”. Dalam Islam, istilah “jiwa” dapat disamakan istilah al-nafs, namun ada pula yang menyamakan dengan istilah al-ruh, meskipun istilah al-nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah al-ruh. Psikologi dapat diterjamahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al-nafs atau ilmu al-ruh. Penggunaan masing-masing kedua istilah ini memiliki asumsi yang berbeda.
Psikologi menurut Plato dan Aristoteles adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir. Menurut Wilhem Wundt (tokoh eksperimental) bahwa psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari pengalaman-pengalaman yang timbul dalam diri manusia , seperti penggunaan pancaindera, pikiran, perasaan, feeling dan kehendaknya.
Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi[2].
Belajar psikologi agama tidak untuk membuktikan agama mana yang paling benar, tapi hakekat agama dalam hubungan manusia dengan kejiwaannya, bagaimana prilaku dan kepribadiannya mencerminkan keyakinannnya. 
Mengapa manusia ada yang percaya Tuhan ada yang tidak, apakah ketidak percayaan ini timbul akibat pemikiran yang ilmiah atau sekedar naluri akibat terjangan cobaan hidup, dan pengalaman hidupnya.
Salah satu cabang ilmu jiwa yang masih muda, ilmu jiwa Agama sampai sekarang masih belum mendapat yang wajar. Masih banyak ahli-ahli jiwa yang tidak mengakui adanya cabang ilmu jiwa, yang berdiri sendiri yang khusus membahas dan menyoroti masalah agama. Namun cabang ilmu jiwa yang masih muda ini tetap hidup dan berkembang untuk meneliti dan menjawab berbagai macam persoalan, yang ada sangkut pautnya dengan keyakinan beragama. Berapa banyaknya peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang sukar untuk dimengerti tanpa menghubungkannya dengan agama.
Untuk menjawab semua persoalan-persoalan yang berhubungan dengan keyakinan itulah, maka ilmu jiwa agama perlu meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempengaruhi berapa besar pengaruh keyakinan agama tersebut dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Psikologi agama sangat berpengaruh dan menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut.
Dalam hal ini akan dijelaskan bagaimana pengertian psikologi agama yang akan dibahas dalam makalah ini. Penulis berharap ada tujuan akhir yang akan dicapai dalam mempelajari psikologi agama sehingga makalah ini bermanfaat dalam memahami psikologi agama. Penulis juga bertujuan mengajak para pembaca untuk memahami agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

B.     Rumusan masalah
1.      Apa pengertian dari psikologi agama?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan psikologi agama?
3.      Apa ruang lingkup dari psikologi agama?
4.      Bagaimana metode penelitian dari psikologi agama?
5.      Apa teori ilmu jiwa agama?
6.      Apa objek kajian dari psikologi agama?

C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari psikologi agama.
2.      Untuk mengetahui sejarah perkembangan psikologi agama.
3.      Untuk mengetahui ruang lingkup dari psikologi agama.
4.      Untuk mengetahui dari metode penelitian psikologi agama
5.      Untuk mengetahui teori ilmu jiwa agama
6.      Untuk mengetahui objek kajian psikologi agama.





BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengetian psikologi agama
Pada awalnya, psikologi merupakan cabang dari filsafat, karena filsafat merupakan induk dari segala cabang ilmu.
Dalam tahap selanjutnya psikologi berdiri sebagai cabang ilmu tersendiri dan pengertiannya lebih mengarah pada pengertian tentang ilmu yang mempelajari proses mental yang tampak dalam perilaku. Karena keterbatasan manusia dalam pemahamannya tentang jiwa (ruh), para ahli berbeda pendapat dalam memberikan definisi tentang psikologi. Namun secara umum, psikologi adalah ilmu penggetahuan yang mempelajari tingkah laku dalam berhubungan dengan lingkungannya.
Dalam perkembangan selanjutnya, para ahli melihat bahwa psikologi memiliki keterkaitan dengan masalah-masalah yang menyangkut kehidupan bathin manusia yang dalam, yaitu Agama. Para ahli kemudian memunculkan studi khusus tentang hubungan antara kesadaran agama dan tingkah laku. Zakiah Daradjat misalnya, menampilkan beberapa peristiwa yang sukar dimengerti tanpa dihubungkannya dengan agama. Sebagai contoh ada orang yang tampaknya senang, suka menolong dan bahagia, padahal hidupnya sangat sederhana, makan secukupnya, pakaian sederhana, alat-alat dan perabotan rumah tangganya kurang dari sederhana. Tengah malam ia bangun untuk mengabdi kepada Tuhan, sebelum waktu subuh, ia telah duduk pula ditikar sholatnya. Sebaliknya tidak jarang diijumpai seseorang yang kehidupannya lebih dari cukup, atau boleh dibilang berlebih, tapi dlaam hatinya penuh kegoncangan dan jauh dari kepuasan. Lebih jauh dijelaskan bahwa hubungan antara moral dan agama sebenarnya sangat erat. Biasanya orang-orang yang mengerti tentang agama dan rajin melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari, moralnya dapat dipertanggungjawabkan. Sebaliknya, orang yang akhlaknya merosot, biasanya keyakinan terhadap agamanya kurang atau tidak ada sama sekali.
Berangkat dari permasalahan-permasalahhan seperti itulah, akhirnya psikologi banyak membahas atau mengkaji tentang agama. Banyak penelitian yang dilakukan untuk mengungkap tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan kehidupan beragama.[1]
Ketika mengkaji psikologi agama seseorang dihadapkan pada dua kata, yakni “psikologi” dan “agama”. Kedua kata tersebut memiliki pengertian dan penggunaan yang berbeda, meskipun keduanya memilki aspek kajian yang sama yaitu aspek batin manusia[2]
Psikologi agama terdiri dari kata psikologi dan agama. Psikologi berarti studi ilmiah atas gejala kejiwaan manusia. Sebagai kajian ilmiah, psikologi jelas mempunyai sifat teoritik-empirik, dan sistematik. Sementara agama bukanlah ilmu dalam pengrtian kajian ilmiah. Agama merupakan suatu aturan yang menyangkut cara-cara bertingkat laku, berperasaan dan berkeyakinan secara khusus. Setidaknya agama menyangkut ke-ilahi-an. Maksudnya, agama menyangklut segala sesuatu yang bersifat ketuhanan. Sebaliknya psikologi menyangkut manusia dan lingkungannya. Agama bersifat transenden, psikologi bersifat profan. Oleh karena itu, psikologi tidak bisa memasuki wilayah ajaran keagamaan. Alasannya, psikologi dengan watak keprofanannya itu sangat terikat dengan pengalaman dunia, sementara agama merupaka urusan Tuhan yang sudah tentu mengatasi semua pengalaman tersebut.
Disinilah sebenarnya duduk permasalahan timbulnya konflik pada awal kemunculan disiplin psikologi agama. Konflik tersebut timbul karena kurangnya pemahaman terhadap hakekat psikologi agama. Memang telah disadari merumuskan definisi suatu ilmu yang mencakup dua  substansi ilmu yang berbeda watak tidaklah mudah. Bila pendefinisian tersebut keliru, bisa jadi akan menimbulkan kesan penggerogokan wilayah agama yang transenden. Ini jelas akan menimbulkan kemarahan besar dari kalangan ahli agama.[3] 
Sebelum kita membahas tentang Agama Dan Psikologi Agama, ada baiknya kita menengok kebelakang dulu untuk mengetahui tentang pengertian masing-masing kata baik Agama, Psikologi maupun Psikologi Agama menurut para ahli.
Agama berasal dari kata latin religio, yang dapat berarti obligation  atau kewajiban.
Agama dalam Encyclopedia of Philosophy adalah kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia (James Martineau).[4]
Agama seseorang adalah ungkapan dari sikap akhirnya pada alam semesta, makna, dan tujuan singkat dari seluruh kesadarannya pada segala sesuatu, (Edward Caird).[5]
Agama hanyalah upaya mengungkapkan realitas  sempurna tentang kebaikan melalui setiap aspek wujud kita (F.H Bradley).[6]
Agama adalah pengalaman dunia dalam seseorang tentang ke-Tuhanan disertai keimanan dan peribadatan.[7]
Jadi agama pertama-tama harus dipandang sebagai pengalaman dunia dalam individu yang mengsugesti esensi pengalaman semacam kesufian, karena kata Tuhan berarti sesuatu yang dirasakan sebagai supernatural, supersensible atau kekuatan diatas manusia. Hal ini lebih bersifat persona/pribadi yang merupakan proses psikologis seseorang.
Yang kedua adalah adanya keimanan, yang sebenarnya intrinsik ada pada pengalaman dunia dalam seseorang. Kemudian efek dari adanya  keimanan dan pengalaman dunia yaitu peribadatan.
Agama dari segi bahasa yang dapat dibahas dalam uraian yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya agama dikenal dengan kata din   bahasa Arab dan kata religi dalam bahasa Eropa.
Menurut satu pendapat, demikian Harun Nasution mengatakan, kata Agama tersusun dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi Agama artinya tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi secara turun temurun. Selanjutnya agama dikatakan sebagai tuntunan. Selanjutnya din dalam bahasa semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan dan kebiasaan. Drai pengertian tersebut berarti kandungan yang merupakan hukum yang harus dipatuhi penganut Agama yang bersangkutan.
Harun Nasution menyimpulkan dimensi Agama ialah[8] :
  1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib yang harus dipatuhi
  2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan ghaib yang menguasai manusia.
  3. Mengikat diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada diluar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia
  4. Kepercayaan pada suatu kekuatan ghaib yang menimbulkan cara hidup tertentu
  5. Sistem suatu tingkah laku yang berasal dari kekuatan ghaib
  6. Pengakuan adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan ghaib
  7. Pemujaan terhadap kekuatan ghaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia
  8. Ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusai melalui seorang Rasul.
Selanjutnya Harun Nasution merumuskan ada empat unsur yang terdapat dalam agama yaitu:
a.       Kekuatan ghaib, yang diyakini berada diatas manusia. Didorong oleh kelemahan dan keterbatasannya, manusia merasa berhajat akan pertolongan dengan cara menjaga dan membina hubungan baik dengan kekuatan ghaib tersebut. Sebagai realisasinya adalah sikap patuh terhadap perintah dan larangan kekuatan ghaib itu.
b.      Keyakinan tehadap kekuatan ghaib sebagai penentu nasib baik nasib buruk manusia. Dengan demikian manusia berusaha untuk menjaga hubungan baik ini agar kesejahteraan dan kebahagiaannya terpelihara.
c.       Respon yang bersifat emosional dari manusia. Respon ini dalam realisasinya terlihat dalam bentuk penyembahan karena didorong oleh perasaan takut (agama primitif) atau pemujaan yang didorong oleh perasaan cinta (monoteisme), serta bentuk cara hidup tertentu bagi penganutnya.
d.      Paham akan adanya yang kudus dan suci. Sesuatu yang kudus dan suci ini adakalanya berupa kekuatan ghaib, kitab yang berisi ajaran agama, maupun tempat-tempat tertentu.[9]
Adapun bentuk kepercayaan yang dianggap sebagai Agama, tampaknya memang memiliki ciri umum yang hampir sama, baik dalam Agama primitif maupun Agama monoteisme. Menurut Robert H.Thouless dalam kaitannya dengan psikologi Agama, ia mengatakan Agama adalah sikap (cara penyesuaian diri terhadap dunia yang mencakup acuan yang menunjukkan lingkungan lebih luas daripada lingkungan dunia fisik yang terikat ruang dan waktu).
Beranjak dari kedua pengertian psikologi dan Agama, maka psikologi agama dapat diartikan sebagai Psikologi yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan perkembangan usia masing-masing. Upaya untuk mempelajari tingkah laku keagamaan tersebut dilakukan melalui pendekatan psikologi melalui penelaahan yang merupakan kajian empiris.
Psikologi Agama sebagai salah satu cabang ilmu dari psikologi juga merupakan ilmu terapan. Psikologi Agama sejalan dengan ruang lingkup kajiannya telah banyak memberi sumbangan dalam memecahkan persoalan kehidupan manusia dalam kaitannya dengan agama yang dianut.
Berapapun macam definisi Agama dalam psikologi Agama yang diberikan para ahli, namun bagi kita yang penting adalah Agama yang dirasakan dengan hati, pikiran, dan dilaksanakan dalam tindakan serta memantul dalam sikap (yang menjadi kajian psikologi Agama) dan cara menghadapi hidup pada umumnya, atau dengan ringkas yang kita teliti adalah proses kejiwaan terhadap Agama dan pengaruhnya dalam hidup pada umumnya.
Adanya keterkaitan yang erat antara psikologi dan Agama. Bila ditinjau dari pengertiannya Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku sedangkan agama dapat diartikan sebagai suatu keyakinan terhadap suatu ajaran. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemahaman perilaku keagamaan yang mana agama dapat mempengaruhi tingkah laku manusia baik dalam kehidupan bermasyarakat, berkelompok dan berbudaya juga dalam kehidupan beragama.
Tidak ada satupun definisi tentang agama (religion) yang dapat diterima secara umum, karena  para filsuf, sosiolog, psikolog merumuskan agama menurut caranya masing-masing, menurut sebagian filsuf religion adalah ”Supertitious structure of incoheren metaphisical notionSebagian ahli sosiolog lebih senang menyebut religion sebagai ”collective expression of human values”. Para pengikut Karl Marx mendifinisikan Religion sebagai “the opiate of people”. Sebagian Psikolog menyimpulkan religion adalah mysticalcomplex surrounding a projected superego” disini menjadi jelas bahwa tidak ada batasa tegas mengenai agama/religion yang mencakup berbagai fenomena religion.
Menurut Einstein , pada pidato tahun 1939 di depan Princeton Theological seminar, ”ilmu pengetahuan hanya dapat diciptakan oleh mereka yang dipenuhi dengan gairah untuk mencapai kebenaran dan pemahaman, tetapi sumber perasaan itu berasal dari tataran agama, termasuk didalamnya keimanan pada kemungkinan bahwa semua peraturan yang berlaku pada dunia wujud itu bersifat rasional, artinya dapat dipahami akal. Saya tidak dapat membayangkan ada ilmuwan sejati yang tidak mempunyai keimanan yang mendalam seperti itu, ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan buta
Beragama berarti melakukan dengan cara tertentu dan sampai tingkat tertentu penyesuaian vital betapapun tentative dan tidak lengkap pada apapun yang ditanggapi atau yang secara implicit atau eksplisit dianggap layak diperhatikan secara serius dan sungguh-sungguh (Vergulius Ferm)
Psikologis atau ilmu jiwa mempelajari manusia dengan memandangnya dari segi kejiwaan yang menjadi obyek ilmu jiwa yaitu manusia sebagai mahluk berhayat yang berbudi. Sebagai demikian, manusia tidak hanya sadar akan dunia disekitarnya dan akan dorongan  alamiah yang ada padanya, tetapi ia juga menyadari kesadaranya itu , manusia  mempunyai kesadaran diri ia menyadati dirinya sebagai pribadi, person yang sedang berkembang, yang menjalin hubungan dengan sesamanya manusia yang membangun tata ekonomi dan politik yang menciptakan kesenian, ilmu pengetahuan dan tehnik yang hidup bermoral dan beragama, sesuai dengan banyaknya dimensi kehidupan insani , psikologi dapat dibagi menjadi beberapa cabang
Kepercayaan dan pengamalannya sangat beragam antara tradisi yang utama dan usaha dalam mendifinisikan agama itu sendiri secara keseluruhan yang sempurna. Agama sendiri menurut bahasa latin berasal dari kata religio, yang dapat di artikan sebagai kewajiban atau ikatan
Menurut Oxford English Dictionary, “religion represent the human recognition of super human controlling  power, and especially of a personal God or Gods entitle to obedience and worship”, agama menghadirkan manusia yang kehidupannya di kontrol oleh sebuah kekuatan yang disebut Tuhan atau para dewa-dewa untuk patuh dan menyembahnya.
Psikologi agama merupakan bagian dari psikologi yang mempelajari masalah-masalah kejiwaan yang ada sangkut pautnya dengan keyakinan beragama, dengan demikian psikologi agama mencakup dua bidang kajian yang sama sekali berlainan, sehingga ia berbeda dari cabang psikologi lainnya
Psikologi agama tidak berhak membuktikan benar tidaknya suatu agama, karena ilmu pengetahuan tidak mempunyai tehnik untuk mendemonstrasikan hal-hal yang seperti itu baik sekarang atau masa depan, Ilmu pengetahuan tidak mampu membuktikan ketidak-adaan Tuhan, karena tidak ada tehnik empiris untuk membuktikan adanya gejala yang tidak empiris, tetapi sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara empiris bukanlah berarti tidak ada jiwa. Psikologi agama sebagai ilmu pengetahuan empiria tidak menguraikan tentang Tuhan dan sifat-sifatNya tapi dalam psikologi agama dapat diuraikan tentang pengaruh iman terhadap tingkah laku manusia. Psikologi dapat menguraikan iman agama kelompok atau iman individu, dapat mempelajari lingkungan-lingkungan empiris dari gejala keagamaan, tingkah laku keagamaan, atau pengalaman keagamaan, pengalaman keagamaan, hukum-hukum umum tetang terjadinya keimanan, proses timbulnya kesadaran beragama dan persoalan empiris lainnya. Ilmu jiwa agama hanyalah menghadapi manusia dengan pendirian dan perbuatan yang disebut agama, atau lebih tepatnya hidup keagamaan
Secara umum psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa yang normal, dewasa dan beradab
Psikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Disamping itu psikologi juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada orang serta faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut
Menurut Robert H. Thouless, psikologi sekarang digunakan secara umum untuk ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia
John Broadus Waston, memandang psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku tampak (lahiriah) dengan menggunakan metode observasi yang objektif terhadap rangsangan dan jawaban.
B. Sejarah Perkembangan Psikologi Agama
Tahun 1500-500 SM di Yunani Mesir, Mesopotamia Purba, lahirlah berbagai agama. Agama Brahma menyuruh pengikutnya menyembah Dewa Tunggal, Agama Budha (400-750 M) menyembah Naga dan Raksasa, Agama Hindu di India(1500) SM menyembah banyak Dewa. Di Tiongkok (551-479 SM) lahir pula agama Khonghucu dikembangkan oleh Confusius. Pada tahun 560 SM, berkembang pula agamaBudha di Kapilawastu, oleh Budha Guatama. Sekitar tahun 660-583 SM, lahir agama Majusi dibawa oleh Zarathustraketurunan Iran suku Spitama. Selanjutnya di Jepang pada abat ke-6, muncul agama Shinto. Pada tahun 1570-1450 SM muncul agama Yahudi ditanah Arab wilayah Palestina, Mesir. Kurang lebih 21 abat yang lalu lahirlah agama Nasrani. Nama ini berasal dari kota Nazareth, yaitu kota kecil yang terletak kaki sebuah bukit. Agama ini dinamakan juga dinamakan agama Kristen (Chistten) yaitu diambil dari nama Nabinya Jesus Kristus, gelar kehormatan keagamaan buat Juses dari Nazareth pembawa agama ini. Kristus adalah bahasa Yunani. Rasul yang membawa agama Kristen ini adalah Isa Almasih atau Jesus Kristus. Pada abad ke 6 M, lahirlah agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Agama ini mengajarkan agar penganutnya menyembah Allah SWT.  Kitab Pegangannya adalah Al-Quran dan Hadist Rasulullah.
Penelitian agama sacara ilmu jiwa (psikologi modern) relatif masih muda.[3] Para ahli psikologi agama menilai bahwa kajian mengenai psikolgi agama mulai popular sekitar abat ke-19. Ketika itu psikologi yang semakin berkembang digunakan sebagai alat untuk kajian agama. Kajian semacam itu dapat membantu pemahaman terhadap cara bertingkah laku, berfikir, dan mengemukakan perasaan keagamaan.
Perkembangan di Barat
Perkembangan psikologi agama di barat mengalami pasang surut.  Bersamaan dengan perkembangan psikologi modern, pada tahun 1890-an, psikologi berkemang pesat. Tetapi pada tahun 1930-1950 psikologi agama mengalami penurunan. Setelah itu meningkat lagi, bahkan berkembang pesat pada tahun 1970 sampai sekarang. Menurut Thouless, sejak terbitnya buku The Varietes of Religion Experience tahun 1903, sebagai kumpulan kuliah William James di empat Universitas di Skotlandia, maka langkah awal kajian psikologi agama mulai diakui oleh para ahli psikologi dan dalam jangka waktu tiga puluh tahun kemudian, banyak buku-buku lain diterbitkan dengan konsep-konsep yang serupa. Diantara buku-buku tersebut adalah The Psychology of Religion karangan Edwind Diller Starbuck, yang mendahului karangan Wlilliam James. Buku E.D. Starbuck yang terbit tahun 1899 ini kemudia disusul sejumlah buku lainnya seperti The Spiritual Life oleh George Albert Coe, tahun 1900, kemudian The Belief in God and Immortality (1921) oleh H.J. Leuba dan oleh Robert H. Thouless dengan judul An Introduction on thr Psycology of Religion tahun 1923 serta R.A. Nicholson yang khususnya mempelajari mengenai aliran Sufisme dalam Islam dengan bukunya Studies in Islamic mysticism, tahun 1921. Sejak itu , kajian-kajian tentang psikologi agama tampaknya tidak hanya terbatas pada masalah-masalah yang menyangkut kehidupan keagamaan secara umum, melainkan juga masalah khusus. J.B. Pratt misalnya, mengkaji mengenai kesadaran beragama melalui bukunya the Religius Conciusness (1920), Dame Julian yang mengkaji tentang wahyu dengan bukunya Revelation of Devine Love tahun 1901.
Selanjutnya, kajian-kajian psikologi agama juga tidak terbatas pada agama-agama yang ada di Barat (Kristen) saja melainkan juga agama-agama yang ada di Timur. A.J. Appasmyy dan B.H. Steeter menulis tentang masalah yang menyangkut kehidupan penganut agama Hindu dengan bukunya The Sadhu (1921). Sejalan dengan perkembangan itu, para penulis non-Barat pun mulai menerbitkan buku-buku mereka. Tahun 1947 terbit buku The Song of God Baghavad Gita, terjemahan Isherwood dan Prabhavanada, kemudian tahun 1952 Swami Madhavananda menulis buku Viveka-Chumadami of Sankaracharya yang disusul penulis India lainnya, Thera Nyonoponika dengan judul The Life of Sariptta (1966). Demikian pula, Swami Ghananda menulis tentang Sri Rama dengan judul Ramakrisna, His Unique Massage (1946).

Perkembangan di Timur
Didunia Timur, khususnya diwilayah-wilayah kekuasaan Islam, tulisan-tulisan yang memuat kajian tentang hal serupa belum sempat dimasukkan. Padahal, tulisan Muhammad Ishaq ibn Yasar diabat ke-7 masehi berjudul Al-Siyar wa al- Maghazimemuat berbagai fragmen dari biografi Nabi Muhammad SAW, atau pun Risalah Hayy Ibn Yaqzan fi Asrar al-Hikmat al-Masyriqiyyat yang juga ditulis oleh Abu Bark Muhammad ibn Abd-Al-Malin ibn Tufai (1106-1185 M) juga memuat masalah yang erat kaitannya dengan materi psikologi agama.
Demikian pula karya besar Abu Hamid Muhammad al-ghazali (1059-1111 M) berjudul Ihya' 'Ulum al-Din, dan juga bukunya Al-Munqidz min al-Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan) yang sebenarnya, kaya akan muatan permasalahan yang berkaitan dengan materi kajian psikologi agama Diperkirakan masih banyak tulisan-tulisan ilmuwan Muslim yang berisi kajian mengenai permasalah serupa, namun sayangnya karya-karya tersebut tidak dapat dikembangkan menjadi disiplin ilmu tersendiri, yaitu psikologi agama seperti halnya yang dilakukan oleh kalangan ilmuwan Barat. Karya penulis Musli pada zaman modern, seperti bukunya Al-Maghary yang berjudul Tatawwur al-Syu'ur al-Diny 'Inda Tifl wa al-Murahid(Perkembangan Rasa Keagamaan pada Anak dan Remaja), bagaimanapun dapat disejajarkan dengan karya-karya yang dihasilkan oleh ahli-ahli psikologi agama lainnya. Karya lain yang lebih khusus mengenai psikologi agama adalah Ruh al-Din al-Islamy (Jiwa Agama Islam) karangan Alif Abd Al-Fatah, tahun 1956. 
Perkembangan di Indonesia
Adapun ditanah air perkembangan psikologi agama dipelopori oleh tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang profesi ilmuwan, agamawan, dan bidang kedokteran. di antara karya-karya awal yang berkaitan dengan psikologi agama adalah bukuAgama dan Kesehatan Badan/Jiwa (1965), tulisan Prof. dr. H. Aulia.  Kemudian Tahun 1975, K.H. S.S. Djam’an menulis buku Islam dan Psikosomatik. Dr. Nici Syukur Lister, menulis buku Pengalaman dan Motivasi Beragama: Pengantar Psikologi Agama.
Adapun pengenalan psikologi agama di lingkungan perguruan tinggi dilakukan oleh Prof. Dr. H. A Mukti Ali dan Prof. Dr. Hj. Zakiah Darajat. Buku-buku yang khusus mengenai psikologi agama banyak dihasilkan oleh Prof. Dr. Zakiah Darajat, antara lain: Ilmu Jiwa Agama (1970), Peranan Agama dalam Kesehatan Mental (1970), dan Kesehatan Mental. Prof. Dr. Hasan Langgulung juga menulis buku Teori-teori Kesehatan Mental yang juga ikut memperkaya khazanah bagi perkembangan psikologi agama di Indonesia.
Sejak menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri, perkembangan psikologi agama dinilai cukup pesat, dibandingkan usianya yang masih tergolong muda. Perkembangan psikologi agama yang cukup pesat ini antara lain ditandai dengan diterbitnya berbagai karya tulis, baik buku maupun artikel dan jurnal yang memuat kajian tentang bagaimana agama dalam kehidupan manusia.



C. Ruang Lingkup Psikologi Agama
Sebagai disiplin ilmu yang otonom, psikologi agama memiliki ruang lingkup pembahasannya tersendiri. Adapun ruang lingkup psikologi agama menurut Prof. Dr. H. Rusmin Tumanggor adalah:
a.       Kegiatan ibadah seseorang, meliputi ubudiyah dan maumalah.
b.       Gerakan-gerakan kemasyarakatan yang muncul dari masyarakat yang beragama.
c.        Budaya-budaya yang ada dalam masyarakat, akibat pengalaman agama.
d.       Suasana keagamaan dalam lingkungan hidup, seiring dengan kesadaran beragama yang ada dalam masyarakat.
Lebih lanjut, Prof. Dr. Zakiah Darajat menyatakan lapangan penelitian psikologi agama mencakup proses beragama, perasaan dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan. Oleh karena itu menurut Zakiah Darajat ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian psikologi agama meliputi kajian mengenai:
a.       Bermacam-macam emosi yang menjalar di luar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama orang biasa (umum), seperti rasa lega, dan tentram sehabis sembahyang, rasa lepas dari ketegangan batin sesudah berdoa atau membaca ayat-ayat suci, perasaan tenang, pasrah dan menyerah setelah berzikir dan ingat kepada Allah ketika mengalami kesedihan dan kekecewaan yang bersangkutan.
b.       Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap tuhannya, misalnya rasa tentram dan kelegaan batin.
c.        Mempelajari, meneliti, dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati (akhirat) pada tiap-tiap orang.
d.       Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
e.        Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap ayat-ayat suci kelegaan batinnya.
 D. Metode Penelitian Psikologi Agama
Metode yang digunakan dalam penelitian-penelitian psikologi agama adalah metode ilmiah, yakni mempelajari fakta-fakta yang berada dalam lingkungannya, dengan cara yang obyektif. Dalam meneliti ilmu jiwa agama sejumlah metode dapat digunakan antara lain:
a.       Dokumen Pribadi
Metode ini digunakan untuk mempelajari bagaimana pengalaman dan kehidupan batin seseorang dalam keberagamaannya. Cara yang dapat ditempuh oleh peneliti adalah mengumpulkan dokumen pribadi orang per orang, baik dalam bentuk otobiografi, biografi, tulisan, ataupun catatan-catatan yang dibuatnya. Dalam Penerapanya, metode dokumen pribadi ini dilakukan dengan berbagai cara atau teknik-teknik tertentu, di antaranya teknik nomotatik, teknik analisis nilai, teknik idiografi, teknik penilaian terhadap sikap.
b.      Kuesioner dan Wawancara
Metode kuesioner maupun wawancara digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi yang lebih banyak dan mendalam secara langsung kepada responden. Dalam penerapannya, metode kuesioner dan wawancara dilakukan dalam berbagai bentuk, di antaranya adalah teknik pengumpulan data melalui pengumpulan pendapat masyarakat (Public Opinion Polls) dan skala penilaian (Rating Scale).
c.       Tes
Tes digunakan untuk mempelajari tingkah laku keagamaan seseorang dalam kondisi tertentu.
d.      Ekperimen
Teknik ekperimen digunakan untuk mempelajari sikap dan tingkah laku keagamaan seseorang melalui perlakuan khusus yang sengaja dibuat.
e.       Observasi melalui Pendekatan Sosiologi dan Antropologi
Penelitian ini dilakukan dengan mengunakan data sosiologi dengan mempelajari sifat-sifat manusiawi orang per orang atau kelompok.
f.       Pendekatan terhadap Perkembangan
Teknik ini digunakan untuk meneliti mengenai asal-usul dan perkembangan aspek psikologi manusia dalam hubungannya dengan agama yang dianutnya.
g.      Metode Klinis dan Proyektivitas
Dalam pelaksanannya, metode ini memanfaatkan cara kerja klinis. Penyembuhan dilakukan dengan cara menyelaraskan hubungan antara jiwa dan agama
h.      Metode Umum Proyektivitas
Metode ini berupa penelitian dengan cara menyadarkan sejumlah masalah yang mengandung makna tertentu
i.        Apersepsi Nomotatik
Caranya dengan mengunakan gambar-gambar yang samar.
j.        Studi Kasus
Studi Kasus dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen, catatan, hasil wawancara atau lainnya untuk kasus-kasus tertentu.
k.      Survei
Metode ini biasanya digunakan dalam penelitian sosial dan dapat digunakan untuk tujuan penggolongan manusia dalam hubungannya dengan pembentukan organisasi dalam masyarakat.
E. Teori Ilmu Jiwa Agama
a. Teori Monistik (Mono = Satu)
Teori ini berpendapat bahwa sumber kejiwaan agama yang paling dominan adalah satu. Akan tetapi, sumber tunggal manakah yang paling dominan. Timbul beberapa pendapat dari para ahli:
1)      Thomas van Aquino
Thomas mengemukakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama itu ialah pikiran. manusia ber-Tuhan karena manusia menggunkan kemampuan pikirannya.
2)      Fredrick Hegel
Filosof Jerman ini berpendapat agama adalah suatu pengetahuan yang sungguh-sungguh benar dan tempat kebenaran abadi. berdasarkan hal itu, agama semata-mata merupakan hal-hal atau persolan yang berhubungan dengan pikiran
3)      Sigmund Freud
Pendapat S. Freud unsur kejiwaan yang menjadi sumber kejiwaan agama ialah libido sexuil (naluri seks).
4)      Rusolf Otto
Menurut pendapatnya sumber kejiwaan agama adalah rasa kagum yang berasal dari the wholly other (yang sama sekali lain).
b. Teori Fakulti (Faculty Theory)
Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu tidak bersumber pada suatu faktor yang tunggal tetapi terdiri dari beberapa unsur, antara lain yang anggap memang berperan penting adalah:
1.      Cipta (Reason)
Merupakan fungsi intelektual jiwa manusia. Ilmu Kalam (Teologi) adalah cerminan adanya pengaruh fungsi intelektual ini. Melalui cipta, orang dapat menilai, membandingkan, dan memutuskan sesuatu tindakan terhadap stimulus tertentu.
2.      Rasa (Emotion)
Yang menjadi objek penyelidikan sekarang pada dasarnya adalah bukan anggapan bahwa pengalaman keagamaan seseorang itu dipengaruhi oleh emosi, melainkan sampai berapa jauhkah peran emosi itu dalam agama.
3.      Karya (Will)
Will berfungsi mendorong timbulnya pelaksanaan doktrin serta ajaran agama berdasarkan fungsi kejiwaan.
F. Objek kajian Psikologi Agama
Psikologi agama merupakan salah satu kajian empiris umat beragama.Artinya, dasar-dasar keyakinan dan pemahaman seseorang dapat diteliti secara empiris melalui tingkah laku seseorang dari pemahamannya terhadap agama yang diyakininya. Dalam konsep psikodiagnostik, perilaku beragama seseorang dipahami melalui penafsiran terhadap tanda-tanda tingkah laku, cara berjalan, langkah, gerak isyarat, sikap, penampilan wajah, suara dan seterusnya
Kalaupun agama secara khusus tidak dapat dikaji secara empiris, akan tetapi pemahaman keagamaan seseorang yang berwujud dalam bentuk tingkah laku dapat diteliti. Yakni sejauh mana kapasitas seseorang dalam menyakini suatu agama.Sebab adakalanya seseorang yang mengaku dirinya beriman, namun dalam tingkahlakunya tidak mencerminkan nilai-nilai keagamaan yang diyakininya. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang dianggap tidak beriman (dalam artian normatif) namun segala tingkah lakunya mencerminkan suatu nilai keagamaan tertentu. Untuk itu dengan kajian empiris yang dilakukan oleh psikologi agama akan dapat diketahui kadar kualitas keimanan seseorang.
Sebab tanpa disadari oleh berbagai kalangan bahwa munculnya kesadaran beragama, pengalaman keagamaan dan gejolak hati seseorang sangat berkaitan dengan psikologi. Sehingga tidak memiliki dasar yang kuat jika seseorang menolak adanya kajian empiris yang dilakukan ahli psikologi agama. Karena penelitian yang dilakukan ahli psikologi agama hanya sebatas pada pengalaman dan kesadaran seseorang dalam memahami keyakinan agamanya, dan tidak mempersoalkan benar tidaknya suatu agama atau norma-norma terbaik dari agama tertentu.
Berdasarkan pendapat di atas, maka penelitian psikologi merujuk pada suatu sistem dari berbagai metode penelitian yang diarahkan pada pemahaman terhadap apa yang telah diperbuat, yang telah dipikirkan dan dirasakan oleh manusia. Sebab pijakan kepribadian manusia berdasarkan pada apa yang telah dipikirkan, dirasakan dan yang telah diperbuat olehnya. Sehingga Robert H. Thouless mengatakan, bahwa seorang peneliti psikologi tertentu dapat mempergunakan salah satu bentuk behaviorisme teoritik di mana ia menganggap bahwa perolehan mengenai tingkah laku manusia sebagai proses mekanik yang ditentukan oleh suatu prinsip yang menyatakan bahwa tingkah laku terpuji cenderung untuk diulangi.
Pada dasarnya psikologi agama tidak membahas tentang iman dan kufur, surga dan neraka, serta hari kiamat dan sebagainya, juga tidak membahas mengenai definisi dan makna agama secara umum. Namun psikologi agama secara khusus mengkaji tentang proses kejiwaan seseorang terhadap tingkah laku dalam kehidupannya sehari-hari. Untuk itu dalam psikologi agama dikenal adanya istilah kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience).
Menurut Zakiah Darajat kesadaran agama itu adalah bagian atau hadir (terasa) dalam pikiran dan dapat diuji melalui introspeksi atau disebut juga dengan aspek mental dan aktivitas agama. Sedangkan yang dimaksud pengalaman agama adalah unsur perasaan dan kesadaran agama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakannya.
Dengan demikian psikologi agama tidak terlibat dalam memberikan penilaian benar atau salahnya suatu agama, yakni tidak mencampuri dan membahas keyakinan agama-agama tertentu. Untuk itu psikologi agama mengkaji dan meneliti proses keberagamaan seseorang, perasaan atau kesadaran beragamanya dalam pola tingkah laku kehidupan sehari-hari. Sehingga dapat ditemukan sejauh mana pengaruh agama dan keyakinan tertentu pada dirinya. Dan yang terpenting adalah bagaimana kelakuan atau tindakan keagamaan yang telah diyakininya. Dengan kata lain bagaimana pengaruh keberagamaan seseorang terhadap proses dan kehidupan yang berkaitan dengan keadaan jiwanya, sehingga terlihat dalam sikap dan tingkah laku secara fisik dan sikap atau tingkah laku secara bathini yang mana dapat diketahui cara berpikir, merasa atau emosinya.
Aristoteles, menggambarkan jiwa sebagai potret badan. Menurut al Farabi, makna jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi fisik adalah bahwa manusia dikatakan menjadi sempurna ketika menjadi makhluk yang bertindak. Sebab jiwa merupakan kesempurnaan pertama bagi fisik alamiah dan bukan bagi fisik buatan. Al-Kindi berpendapat, jiwa akan tetap kekal setelah kematian. Ia pindah ke alam kebenaran yang di dalamnya terdapat nur Sang Pencipta. Pentingnya kajian jiwa tersebut, sehingga Ibnu Miskawaih mengatakan, penyebab senang tidak hidup seseorang dipengaruhi oleh jiwa. Jika jiwa seseorang baik, mulia dan senang maka ia harus bergaul dengan orang-orang yang baik
Dari penjelasan diatas, ruang lingkup obyek kajian psikologi agama menurut Zakiah Darajat meliputi kajian :
a)      Bermacam-macam emosi yang menjalar diluar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama orang biasa (umum), seperti rasa lega dan tentram setelah selesai sholat, rasa lepas dari ketegangan batin sesuadah berdoa atau membaca ayat-ayat suci, perasaan tenang, pasrah dan menyerah setelah berdzikir dan ingat kepada Allah ketika mengalami kesedihan dan kekecewaan yang dialaminya.
b)      Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual kepada Tuhannya, misalnya merasa tentram dan kelegaan batin.
c)      Mempelajari, meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup setelah mati (akherat) pada tiap-tiap orang.
d)     Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan dengan surga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut memberi pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
e)      Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap ayat-ayat suci dan kelegaan batinnya.
Dengan demikian psikologi agama adalah ilmu yang mempelajari dan meneliti tentang pengaruh dan peran pengalaman agama terhadap eksistensi diri seseorang berupa sikap, perilaku, tindakan, penampilan yang muncul di permukaan aktifitas kehidupan secara nyata.
Sebagai disiplin ilmu yang otonom, psikologi agama memiliki obyek kajian tersendiri dari disiplin ilmu yang mempelajari masalah agama lainnya.Sebagai contoh, dalam tujuannya, psikologi agama seperti diungkapkan Robert H. Thouless, memusatkan kajiannya pada agama yang hidup dalam budaya suatu kelompok atau masyarakat. Kajian berpusat pada pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan menggunakan pendekatan psikologi

BAB III
KESIMPULAN
Psikologi agama terdiri dari kata psikologi dan agama. Psikologi berarti studi ilmiah atas gejala kejiwaan manusia. Sebagai kajian ilmiah, psikologi jelas mempunyai sifat teoritik-empirik, dan sistematik. Sementara agama bukanlah ilmu dalam pengrtian kajian ilmiah. Agama merupakan suatu aturan yang menyangkut cara-cara bertingkat laku, berperasaan dan berkeyakinan secara khusus. Setidaknya agama menyangkut ke-ilahi-an. Maksudnya, agama menyangklut segala sesuatu yang bersifat ketuhanan. Sebaliknya psikologi menyangkut manusia dan lingkungannya. Agama bersifat transenden, psikologi bersifat profan. Oleh karena itu, psikologi tidak bisa memasuki wilayah ajaran keagamaan. Alasannya, psikologi dengan watak keprofanannya itu sangat terikat dengan pengalaman dunia, sementara agama merupaka urusan Tuhan yang sudah tentu mengatasi semua pengalaman tersebut.
Tahun 1500-500 SM di Yunani Mesir, Mesopotamia Purba, lahirlah berbagai agama. Agama Brahma menyuruh pengikutnya menyembah Dewa Tunggal, Agama Budha (400-750 M) menyembah Naga dan Raksasa, Agama Hindu di India(1500) SM menyembah banyak Dewa. Di Tiongkok (551-479 SM) lahir pula agama Khonghucu dikembangkan oleh Confusius. Pada tahun 560 SM, berkembang pula agamaBudha di Kapilawastu, oleh Budha Guatama. Sekitar tahun 660-583 SM, lahir agama Majusi dibawa oleh Zarathustraketurunan Iran suku Spitama. Selanjutnya di Jepang pada abat ke-6, muncul agama Shinto. Pada tahun 1570-1450 SM muncul agama Yahudi ditanah Arab wilayah Palestina, Mesir. Kurang lebih 21 abat yang lalu lahirlah agama Nasrani. Nama ini berasal dari kota Nazareth, yaitu kota kecil yang terletak kaki sebuah bukit. Agama ini dinamakan juga dinamakan agama Kristen (Chistten) yaitu diambil dari nama Nabinya Jesus Kristus, gelar kehormatan keagamaan buat Juses dari Nazareth pembawa agama ini. Kristus adalah bahasa Yunani. Rasul yang membawa agama Kristen ini adalah Isa Almasih atau Jesus Kristus. Pada abad ke 6 M, lahirlah agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Agama ini mengajarkan agar penganutnya menyembah Allah SWT.  Kitab Pegangannya adalah Al-Quran dan Hadist Rasulullah.
Menurut Zakiah Darajat ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian psikologi agama meliputi kajian mengenai: Bermacam-macam emosi yang menjalar di luar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama orang biasa (umum), seperti rasa lega, dan tentram sehabis sembahyang, rasa lepas dari ketegangan batin sesudah berdoa atau membaca ayat-ayat suci, perasaan tenang, pasrah dan menyerah setelah berzikir dan ingat kepada Allah ketika mengalami kesedihan dan kekecewaan yang bersangkutan, Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap tuhannya, misalnya rasa tentram dan kelegaan batin, Mempelajari, meneliti, dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati (akhirat) pada tiap-tiap orang, Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan, Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap ayat-ayat suci kelegaan batinnya.
Metode yang digunakan dalam penelitian-penelitian psikologi agama adalah metode ilmiah, yakni mempelajari fakta-fakta yang berada dalam lingkungannya, dengan cara yang obyektif. 
Pada dasarnya psikologi agama tidak membahas tentang iman dan kufur, surga dan neraka, serta hari kiamat dan sebagainya, juga tidak membahas mengenai definisi dan makna agama secara umum. Namun psikologi agama secara khusus mengkaji tentang proses kejiwaan seseorang terhadap tingkah laku dalam kehidupannya sehari-hari. Untuk itu dalam psikologi agama dikenal adanya istilah kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience).
Menurut Zakiah Darajat kesadaran agama itu adalah bagian atau hadir (terasa) dalam pikiran dan dapat diuji melalui introspeksi atau disebut juga dengan aspek mental dan aktivitas agama. Sedangkan yang dimaksud pengalaman agama adalah unsur perasaan dan kesadaran agama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakannya.




[1]Sururin, Ilmu Jiwa Agama (Bandung: Grafido Persada, 2004), 2
[2] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama (Bandung : Pustaka Setia, 2008), 11
[3] Ramayulis, Psikologi Agama (Jakarta : kalam mulia, 2011), 5
[4] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama sebuah Pengantar (Jakarta : Mizan, 2004), 50
[5] Ibid, 51
[6] Ibid, 52
[7] A. Aziz Ahyadi, Psikologi Agama (Bandung : Mariana, 2010), 17
[8] Abidin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1998), 13
[9] Jalaludin, Psikologi Agama (Jakarta : Grafindo Persada, 2001), 13

1 komentar: