Sabtu, 21 Maret 2015

pendidik perspektif al-ghazali makalah

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Secara akademis, pendidik adalah tenaga kependidikan yakni anggota masayarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan yang berkualifikasi sebagai pendidik, dosen, konselor, pamong belajar, dan lain.
Sedangkan secara istilah, pendidik adalah orang-orang yang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik dengan dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotor sesuai dengan ajaran islam.
Al-Ghazali menggunakan istilah pendidik dengan berbagai kata seperti, al-Muallimin(guru), al-Mudarris(pengajar), al-Muaddib(pendidik), dan al-Wallid(orang tua).menurut al-ghazali pekerjaan mengajar adalah kegiatan yang paling dibutuhkan dan paling sempurna peranannya, karena seorang guru menyempurnakan dan menyucikan hati manusia, yang paling utama seorang guru harus membimbing anak didiknya agar beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Menurut al-Ghazali seorang pendidik harus memiliki sikap yang sabar dalam menerima masalah-masalah yang ditanyakan siswa, bersifat kasih dan tidak pilih kasih, menanamkan sifat yang bersahabat di dalam hatinya terhadap semua murid-muridnya, adanya minat dan perhatian terhadap proses belajar mengajar serta membimbing dan mendidik murid dengan sebaik-baiknya.
Al-Ghazali berpendapat kewajiban mengajar untuk orang yang berilmu pengetahuan yang mampu hanya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah serta mempreroleh pahala dari-Nya. Tetapi bukan semata-mata untuk mendapatkan gaji(upah). Al-Qobisi memberikan kesimpulan bahwa seorang guru boleh menerima gaji(upah). Sedangkan al-Ghazali berpendapat lain kalau dia mengharamkan gajiguru, karena gaji yang tercela (diharamkan) sebagai yang dikecam al-Ghazali itu adalah apabila Al-Quran (ilmu-ilmu yang lain ) dijadikan sebagai alat untuk mencari rezeki, menumpuk kekayaan, bahkan satu-satunya tujuan mengajar (dari seorang guru) hanya untuk mencari nafkah dan mencukupi segala kebutuhan rumah tangganya.
B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana biografi singkat tentang Al-Ghazali?
2.      Bagaimana pendidik menurut perspektif Al-Ghazali?
3.      Bagaimana tugas dan kewajiban pendidik dalam perspektif Al-Ghazali?
4.      Bagaimana akhlaq pendidik yang ideal dalam perspektif Al-Ghazali?
5.      Bagaimana akhlaq pendidik terhadap peserta didik dalam perspektif Al-Ghazali?
C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui biografi singkat tentang Al-Ghazali.
2.      Untuk mengetahui pendidik menurut Al-Ghazali.
3.      Untuk mengetahui tugas dan kewajiban pendidik dalam perspektif Al-Ghazali.
4.      Untuk mengetahui akhlaq pendidik yang ideal dalam perspektif Al-Ghazali.
5.      Untuk mengetahui akhlaq pendidik terhadap peserta didik dalam perspektif Al-Ghazali.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi singkat Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di desa Thus. Wilayah Khurasan, Iran pada tahun 450 H/ 1058 M. ayahnya seorang pengrajin wol dan pedagang hasil tenun. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai serangan.[1]
Al-Ghazali adalah orang yang pertama kali menggabungkan antara sufisme dan syari’ah dalam satu sistem. Ia belajar ilmu pertama kali pada seorang sufi di negara Thus, kemudian ia pindah ke Jurjan dan Naisabur untuk belajar ilmu agama pada ulama besar yang termashur yaitu Imam al-Haramain Diya al-Din al-Juwaini, ia seorang direktur sekolah di Naisabur, ilmu yang dipelajarinya.adalah ilmu fiqih, ushul fiqih, mantiq, dan ilmu kalam.[2]
Ia juga menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifat tentang Tuhan, ia tidak akan mengatakan kata-kata Ya Allah atau Ya Rabb, karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa itu menunjukkan bahwa Tuhan masih berada dibelakang tabir orang yang berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya dengan kata-kata itu.[3] Baginya ma’rifat lebih dulu urutannya dari pada mahabah, karena mahabah timbuh dari ma’rifat dan mahabah bagi al-Ghazali bukanlah mahabah sebagaimana yang di ucapkan oleh rabiah, tetapi mahabah baginya adalah dalam bentuk cinta seorang kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan, dan lain-lain. Mahabah dan ma’rifat adalah setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat menurutnya lebih bermutu dan lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal.
Sebelum ayahnya Al-Ghazali meninggal dunia, ia pernah menitipkan kedua anaknya (seorang diantaranya adalah Muhammad, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Al-Ghazali), kepada seorang sufi (sahabat karib ayahnya). Ayahnya berwasiat kepada sahabatnya untuk memberikan pendidikan kepada kedua anaknya dengan menggunakan harta warisan yang di tinggalkannya.[4]
Setelah harta peninggalan ayahnya habis terpakai, tidaklah mungkin bagi sang sufi itu untuk menafkahi mereka berdua, karena pada dasarnya ia pun hidup dalam kekurangan. Namun, beliau memberikan masukan agar mereka melanjutkan belajar ke madrasah, salain karena disana mereka bisa mewujudkan cita-cita luhur mereka untuk menjadi orang yang alim, mereka juga akan mendapatkan makan untuk kelangsungan hidup mereka. Bersama saudaranya (Ghazali dan Ahmad) tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini untuk mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya. Memang, Pada saat itu masalah pendidikan sangat diperhatikan, pendidikan dan biaya hidup para penuntut ilmu di tanggung oleh pemerintah dan pemuka masyarakat. Sehingga tidak mengherankan jika pada saat itu bermunculannya para cendikiawan , baik dikalangan bawah, menengah, sampai elit.
Di dalam madrasah tersebut, Al-Ghazali (seorang anak yang dititipkan tersebut) mempelajari ilmu fiqh kepada Ahamad bin Muhammad Ar-Razikani dan mempelajari tasawwuf kepada Yusuf An-Nasaj, sampai pada usia 20 tahun. Kemudian Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nidhomiyyah, dan disinilah ia bertemu dengan imam Haromain.[5]
Dan pada tahun 483 H/1090 M. ia diangkat menjadi guru besar di Universitas Nidhomiyyah Bagdad. Tugas dan tanggung jawabnya itu dilaksanakan dengan berhasil. Selama di Bagdad, selain mengajar ia juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan bathiniyyah, ismailliyah, filsafat, dan lain-lain.

B.     Pendidik perspektif Al-Ghazali
Kata guru berasal dari bahasa Indonesia yang berarti orang yang mengajar. Dalam bahasa inggris dijumpai kata teacher yang berarti pengajar. Dalam paradigma Jawa, pendidik diidentikkan dengan (gu dan ru) yang berarti “digugu dan ditiru”. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru mempunyai seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya ia memiliki wawasandan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru (diikuti) karena guru mempunyai kepribadian yang utuh, yang karenanya segala tindak tanduknya patutu dijadikan panutan dan suri tauladan oleh peserta didiknya
Al-Ghazali mempergunakan istilah guru dengan kata seperti, almuallimin (guru).[6] Pendapat al-Ghazali ini berasal dari istilah bahasa Arab yaitu al-alim (jamaknya ulama) atau al-Mualim, yang berarti orang yang mengetahui dan banyak digunakan para ulama/ahli pendidikan untuk menunjuk pada arti guru. Selain itu, kata al-alim diungkap dalam bentuk jamak, al-Alimuun.
Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Abuddin Nata bahwasanya guru berasal dari kata al-alim berarti seorang guru yang harus memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi, sehingga mampu menangkap pesanpesan, hikmah, petunjuk, dan rahmat dari segala ciptaan Tuhan serta memiliki potensi batiniyah yang kuat sehingga ia dapat mengarahkan hasil kerja dari kecerdasan untuk diabdikan kepada Tuhan. Menurut al- Ghazali guru adalah seorang yang bekerja menyempurnakan, membersihkan, dan membawakan hati muridnya mendekatkan kepada Allah SWT. Abuddin Nata menambahkan, al-Ghazali berpendapat bahwa guru yang diserahi tugas mendidik adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.[7]
Selanjutnya dijumpai pula pendapatnya al-Ghazali hendaknya seorang guru tidak mengharapkan imbalan, balas jasa ataupun ucapan terima kasih, tetapi dengan mengajar itu bermaksud mencari keridhoan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.[8] Sama seperti pendapat Zakiah Daradjat, dan kecintaan terhadap pekerjaan guru akan bertambah besar apabila dihayati benar-benar keindahan dan kemuliaan tugas ini, karena boleh jadi karena boleh jadi itu sebenarnya tidak sengaja mengajar, akan tetapi ia menjadi guru hanyalah untuk mencari nafkah, maka pekerjaannya sebagai guru dinilai dari segi material. Apabila yang dipandang materi atau hasil lansung yang diterimanya tidak seimbang dengan beban kerja yang dipikulnya, maka ia akan mengalami kegoncangan. Sehingga tindakan dan sikapnya terhadap anak didik akan terpengaruh pula. Hal itupun dapat merusak nilai pendidikan yang diterima oleh anak didik. Dapat dipahami bahwasanya pendapat al-Gazhali tentang guru hampir sama dengan pendapat para tokoh pendidikan masa kini, akan tetapi al-Ghazali lebih luas dalam memberi pengertian guru. Al-Ghazali menggunakan istilah dalam memberikan pengertian guru yang berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Muallim (guru). Muallim adalah orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi dan implementasi. Secara luas al-Ghazali menjelaskan bahwa guru adalah seorang yang bekerja menyempurnakan, membersihkan, dan membawakan hati muridnya mendekatkan kepada Allah SWT, juga seorang guru harus memiliki kesempurnaan akal dan fisiknya, memiliki akhlak yang baik dan mengharapkan gaji.
Al-Ghazali menjelaskan bahwa ada tiga hal yang menjadi alasan dalam profesi guru yaitu:[9]
a.       Alasan yang berhubungan dengan sifat naluriyah
Dalam kitab Ihya Ulum al-Din ia menyebutkan “apabila ilmu itu lebih utama dalam segala hal, maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih mulia, maka mengajarkannya adalah memberikan faedah bagi keutamaan itu”. Jadi profesi guru sebagai pengajar dan pendidik adalah sangat mulia, karrena cara naluri orang yang berilmu itu dimuliakan dan dihormati orang. Dan ilmu pengetahuan itu sendiri adalah mulia, maka guru sebagai orang yang mengajarkannya adalah memberikan kemuliaan bagi murid yang diajarkannya. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Zainuddin yang mengatakan bahwa guru yang memiliki tugas mulia itu menduduki posotif-status terhormat dan mulia dengan kehormatan dan kemulian itu membawa konsekuensi logis bahwa pengajar lebih dari sekedar petugas gajian.
b.      Alasan yang berhubungan dengan kemanfaatan umum.[10]
Al-Ghazali mengatakan: “orang yang mempunyai ilmu itu berada dalam berikut: mencari faedah guna menuntut ilmu, mencari hasil pengetahuan sehingga ia tidak bertanya, dan memberikan wawasan ilmu dan mengajarkannya”. Hal ini sejalan dengan perkataan Ali Saifuddin yang menyatakan pekerjaan guru adalah pekerjaan yang paling mulia, sesuai dengan filsafat hidupnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai sikap pengabdiannya, yaitu pelayanan jasa pada masyarakat dan kemanusiaan. Begitu pula yang dijelaskan oleh Zainuddin bahwa barang siapa telah mencapai ilmu pengetahuan, kemudian ia dapat mengambil faedahnya selanjutnya diajarkan, maka ia laksana matahari yang bersinar dan menyinari lainnya. Ia adalah laksana kasturi yang dapat mengharumkan dan ia sendiri bau harum.
Jadi dapat dimengerti bahwa al-Ghazali menjelaskan bahwa kemuliaan mengajar adalah memiliki dua segi kemanfaatan. Pertama bagi orang yang mengajarkan ilmu pengetahuan itu sendiri akan semakin bertambah pengetahuan dan pengalamannya, sehingga dapat mengambil manfaatnya dan mengambil ilmu pengetahuan sebaikbaiknya. Kedua bagi orang lain yang diberi ilmu pengetahuan, diajar dan dididik akan semakin bertambah pula pengetahuan dan pengalamannya, sehingga dapat mengambil manfaat ilmu pengetahuan tersebut.
c.       Alasan yang berhubungan dengan unsur yang dikerjakan.[11]
Al-Ghazali menyebutkan: “seorang guru adalah berurusan langsung dengan hati dan jiwa manusia, dan wujud yang paling mulia di muka bumi ini adalah jenis manusia. Bagian paling mulia dari bagian-bagian (jauhar) tubuh manusia adalah hatinya, sedangkan guru adalah adalah bekerja menyempurnakan, membersihkan, dan membawakan hati itu mendekatkan kepada Allah SWT”. Senada dengan al-Ghazali, Abuddin Nata menjelaskan bahwa guru dapat membersihkan diri orang lain dari segala perbuatan dan akhlak yang tercela. Sama halnya yang dikatakan Zainuddin bahwa seorang guru adalah orang yang menempati status mulia di muka bumi, ia mendidik jiwa, hati, akal dan roh manusia.
Urian tersebut menjelaskan bahwa al-Ghazali lewat pengaruh logikanya menganggap posisi guru adalah orang yang paling mulia. Karena guru adalah seseorang yang bertugas membersihkan dan menyempurnakan hati murid-muridnya, yang dalam hal ini al-Ghazali menjelaskan bahwa hati adalah bagian paling mulia dari tubuh manusia. Manakala seoirang guru mampu bekerja secara optimal, yaitu membersihkan dan menyempurnakan hati anak didiknya, maka sudah sepatutnya seorang guru tersebut adalah makhluk yang termulia.

C.     Tugas dan Kewajiban pendidik perspektif Al-Ghazali
Al-Ghazali menjelaskan tentang tugas dan kewajiban seorang pendidik pada bagian khusus dari kitabnya yaitu “Ihya Ulum al-Din”dan “Mizan al-Amal” dengan pembahasan yang luas dan mendalam. Dapat diuraikan sebagai berikut:[12]
a.       Mengikuti jejak Rasulullah dalam tugas dan kewajibannya.
Adapun syarat bagi seorang guru, maka ia layak menjadi ganti Rasulullah SAW, dialah sebenar-benarnya alim (berilmu, intelektual). Tetapi tidak pulalah tiap-tiap orang yang alim itu layak menempati kedudukan sebagai ganti Rasulullah SAW, itu. Kemudian al-Ghazali berpendapat: “seorang guru hendaknya mengikuti ajaran Rasulullah SAW, maka ia tidak pernah mencari upah, balas jasa dan ucapan terima kasih dalam mengajarkan ilmu pengetahuan. Tetapi maksud mengajar adalah mencari keridhoan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya” jadi, seharusnya seorang guru menilai tujuan dan tugas mengajarkan adalah karena mendekatkan diri kepada Allah semata-mata. Akan tetapi, jika hanya untuk memenuhi kebutuhan tidak apa, al-Ghazali melarang jika gaji itu untuk memperkaya diri dan menumpuk harta.
b.      Memberikan kasih sayang terhadap peserta didik.
Al-Ghazali mengatakan “memberikan kasih sayang kepada muridmurid dan memberlakuakan mereka seperti anaknya sendiri”. Dengan demikian seorang guru seharusnya menjadi pengganti dan wakil kedua orang tua anak didiknya, yaitu mencintai anak didiknya seperti memikirkan keadaan anaknya. Jadi, hubungan psikologis antara kedua orang tua dengan anaknya, seperti hubungan naluriah antara kedua orang tua dan ananya, sehingga hubungan timbal balik yang harmonis tersebut akan berpengaruh positif ke dalam proses pendidikan dan pengajaran
c.       Menjadi teladan terhadap anak didik
Al-Ghazali mengatakan “Seorang guru itu harus mengamalkan ilmunya, lalu perkataannya jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan mata hati. Sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. Padahal yang mempunyai mata kepala adalah lebih banyak”. Dapat dikatakan bahwa dasar-dasar yang dikemukakan al-Ghazali dalam pentingnya suri teladan terhadap anak didik, mempunyai relevansi dengan teori-teori pendidikan modern Indonesia.
D.    Akhlaq pendidik yang Ideal perspektif Al-Ghazali
Kriteria kepribadian guru dipandang sangat penting oleh sebab tugas guru bukan saja melaksanakan pendidikan, ia juga dituntut dapat memperbaiki pendidikan yang telah terlanjur salah diterima anak sekaligus mengadakan “re-education and reconstruction of personality”. Yaitu seorang guru harus menjadi pembaharu dalam pembelajaran yang selama ini salah diterima anak didiknya, serta berusaha untuk memperbaiki dirinya juga muridnya agar menjadi pribadi yang kuat.
a.       Kepribadian guru
Al-Ghazali menjelaskan kepribadian guru yang ideal diantaranya:[13]
1)      Sabar menerima masalah-masalah yang ditanyakan murid dan harus diterima baik.
2)      Senantiasa harus bersifat kasih tidak pilih kasih.
3)      Jika duduk harus sopan dan tunduk, tidak riya/pamer.
4)      Tidak takabur, kecuali terhadap orang yang zalim, dengan maksud mencegah dari tindakannya.
5)      Bersikap tawadhu dalam pertemuan-pertemuan.
6)      Sikap dan pembicaraannya tidak main-main.
7)      Menanam sifat bersahabat di dalam hatinya terhadap semua murid-muridnya.
8)      Menyantuni serta tidak membentak-bentak orang bodoh.
9)      Membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara sebaik-baiknya.
10)  Berani berkata: saya tidak tahu, terhadap masalah-masalah yang tidak dimengerti.
11)  Menampilkan hujjah yang benar. Apabila ia berada dalam hak yang salah, bersedia ruju‟ kepada kebenaran.
Dapat disimpulkan dari pemaparan al-Ghazali, dapat diklasifikasikan kepribadian guru terbagi tiga aspek. Pertama, tabiat dan prilaku pendidik, yaitu sabar menerima masalah-masalah yang ditanyakan murid dan harus diterima baik, senantiasa harus bersifat kasih tidak pilih kasih, jika duduk harus sopan dan tunduk, tidak riya/pamer, tidak takabur, kecuali terhadap orang zalim, dengan maksud mencegah dari tindakannya, dan bersikap tawadhu dalam pertemuan-pertemuan.

E.     Akhlaq pendidik terhadap peserta didik perspektif Al-Ghazali
Al-Ghazali memandang bahwa pekerjaan mengajar adalah lebih mulia dibandingkan dengan memanfaatkan harta. Hal demikian didasarkan pada alasan, karena orang yang meminta ilmu itu berlapis-lapis, ada yang kaya, miskin, raja, rakyat, dan sebagainya. Sedangkan orang yang meminta harta hanya orang miskin atau orang yang membutuhkan saja. Oleh karena itu seorang guru harus memiliki akhlak sesuai dengan tingkatan orang yang menuntut ilmu tersebut atau muridnya, diantaranya:
Pertama, bersikap lembut dan kasih sayang kepada para pelajar. Dalam kaitan ini al-Ghazali menilai bahwa seorang guru dibandingkan dengan orang tua anak, maka guru lebih utama dari orang tua anak tersebut. Menurutnya orang tua berperan sebagai penyebab adanya si anak di dunia yang sementara ini, sedangkan guru menjadi penyebab bagi keberadaan kehidupan yang kekal di akhirat. Oleh sebab itu seorang guru memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan dengan posisi orang tua. Oleh karena itu seorang guru wajib memperlakukan muridnya dengan rasa kasih sayang dan mendorongnya agar mempersiapkan diri untuk mendapatkan kehidupan akhirat yang kekal dan bahagia. Sedangkan jika seoarang guru sibuk menyiapkan muridnya untuk kehidupan duniawi, maka ia tidak akan bersikap kasih sayang yang demikian itu, melainkan sebaliknya yaitu akan menghancurkannya.[14]
Kedua, seorang guru tidak meminta imbalan atas tugas mengajarnya. Sebagaimana perkataannya “lihatlah kesudahan agama di tangan orang-orang yang mengatakan bahwa mereka bermaksud mendekatkan diri kepada Tuhan (Allah) oleh sebaab itu mereka memiliki ilmu fikih dan kalam serta mengajarkan dua ilmu itu dan lain-lainya lagi. Mereka menghabiskan harta dan pangkat serta menanggung kehinaan untuk melayani sultan-sultan untuk mencari pembagian makanan. Alangkah hinannya seorang alim yang rela kedudukan seperti itu.[15]
Hal yang demikian karena mengikuti apa yang dilakuakan Allah dan Rasul-Nya yang mengajar manusia tanpa memberi imbalan, tanpa meminta ucapan terima kasih, tetapi semata-mata karena karunia Allah. Oleh sebab itu seorang guru harus melaksanakan tugas mengajarnya sebagai anugrah dan rasa kasih sayang kepada orang yang membutuhkan atau memintanya, tanpa disertai keinginan untuk mendapatkan apa-apa. Dan apabila tugasnya itu dihargai, maka amalnya itu bukanalah karena Allah. Dalam hal ini dapat disimpulkan secara tersirat bahwa al-Ghazali mengharamkan gaji guru, apabila al-Qur‟an (ilmu-ilmu lain) dijadiakan alat sebagai mencari rezeki, menumpuk kekayaan, bahkan satu-satunya tujuan mengajar (dari seorang guru), tetapi yang boleh adalah hanya mencari nafkah dan mencukupi segala kebutuhan rumah tangganya.
Ketiga, tidak menyembunyikan ilmu yang dimilikinya sedikitpun. Ia harus sungguh-sungguh tampil sebagai penasehat, pembimbing para pelajar ketika pelajar itu membutuhkannya. Untuk itu perlu diupayakan ilmu sesuai dengan setiap tingkat kecerdasan para siswa.[16]
Keempat, menjauhi akhlak yang buruk dengan cara menghindari sedapat mungkin. Berkenaan dengan ini maka sesuai dengan istilah tarbiyah yang pada intinya menumbuhkan pemahaman melalui diri si anak itu sendiri, dan karenanya waqjib mengikuti cara-cara yang sesuai dalam memperlakukanpara siswa disertai petunjuk dan arahan guru. Untuk ini al-Ghazali menyerukan agar menempuh cara mengajar yang benar, seperti mengulang bukan menjelaskan, kasih sayang bukan merendahkan, karena menjelaskan akan menyebabkan tersumbatnya potensi si anak dan timbul rasa bosan dan mendorong cepat hilangnya hafalan. Menurut al-Ghazali ini termasuk pekerjaan mengajar yang mendalam.[17]
Kelima, tidak mewajibkan kepada para pelajar agar mengikuti guru tertentu dan kecenderungannya. Dalam hal ini al-Ghazali melihat kebiasaan dari sebagian guru fikih yang menjelekkan guru bahasa dan sebaliknya, dan sebagian ulama kalam memusuhi ulama fikih. Demikian seterusnya sehingga setiap guru menilai bahwa ilmunya lebih utama dari lainnya. Hal ini merupakan bagian yang harus dihindari dan dijauhi oleh seorang guru. Menurut al-Ghazali hal yang demikian termasuk kelemahan dan tidak mendorong pengembangan akal pikiran para siswa. Yang demikian itu termasuk akhlak tercela, dan setiap guru harus menjauhinya.
Keenam, memperlakukan murid sesuai dengan kesanggupannya. Sebagaimana al-Ghazali sarankan kepada guru yaitu “seorang guru hendaklah dapat memperkirakan daya pemahaman muridnya dan jangan diberikan pelajaran yang belum sampai tingkat akal fikirnnya, sehingga ia akan lari dari pelajaran atau menjadiaka tumpul otaknya”.[18] Hal ini didasarkan kepada pemahaman bahwa tujuan mengajar bukanlah memperbanyak pengajaran dan melaksanakan dengan cepat, melainkan setahap demi setahap dan agar tidak beralih dari satu tema ke tema yang lain, dari satu pokok bahasan ke bahasan yang lainnya kecuali murid telah paham dan menguasainya dengan baik pelajaran terdahulu. Bila hal tersebut tidak dilakukan guru, maka murid tidak akan pernah memahami pelajaran yang diajarkan, otak mereka akan tumpul dan proses pembelajaran pun akan sia-sia.
Ketujuh, kerja sama dengan para pelajar di dalam membahas dan menjelaskan. Jika terpenuhi syarat-syarat ketelitian, pemjelasan dan keterangan dari suatu ilmu yang diberikan kepada seorang pelajar, dan apabila ia merasa belum menguasai dengan sempurna dan mencapai tujuan dengan sesungguhnya, dan jika dimungkinkan pelajaran lebih dapat menjelaskan dan tergerak hatinya, namun ia kikir menyampaikannya. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa pelajar sendiri meiliki pemahaman dan kecerdasan lebih sempurna dan mampu untuk mengungkapkan apa yang disampaikan atau datang kepadanya. Al-Ghazali mengatakan, bahwa mungkin saja terjadi seorang pelajar diberikan kecerdasan dan kesempurnaan akal oleh Allah SWT, sehingga ia amat cerdas dan brilian sehingga keadaan ini lebih beruntung.[19]
Kedelapan, seorang guru harus mengamalkan ilmunya. Al-Ghazali mengatakan “seorang guru itu harus mengamalkan ilmunya, lalu perkataannya jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan mata hati. Sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. Padahal yang mempunyai mata kepala adalah lebih banyak.[20] Sebagain besar atau semua orang yang menggeluti masalah pendidikan dan pengajaran sangat mengingatkan pentingnya mengamalkan syarat ini. Menurut kebiasaan bahwa seorang guru adalah sebaagai panutan, dan para siswa mengikuti apa yang ditunjukkan pada gurunya.
Berdasarkan uraian tersebut, al-Ghazali menggambarkan sosok guru yang memiliki akhlak ideal kepada muridnya adalah guru yang memiliki motivasi mengajar yang tulus, yaitu ikhlas dalam mengamalkan ilmunya, bertindak sebagai orang tua yang penuh kasih sayang kepada anaknya, mampu menggali potensi yang dimiliki para siswa, bersikap terbuka dan demokratis untuk menerima dan menghargai pendapat para siswanya, dapat bekerja sama dengan mereka dalam memecahkan masalah, dan ia menjadi tipe ideal atau idola bagi siswanya, sehingga siswa itu mengikuti perbuatan baik yang dilakukan gurunya menuju jalan akhirat.





BAB III
KESIMPULAN

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di desa Thus. Wilayah Khurasan, Iran pada tahun 450 H/ 1058 M. ayahnya seorang pengrajin wol dan pedagang hasil tenun. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama.
Al-Ghazali mempergunakan istilah guru dengan kata seperti, almuallimin (guru). Pendapat al-Ghazali ini berasal dari istilah bahasa Arab yaitu al-alim (jamaknya ulama) atau al-Mualim, yang berarti orang yang mengetahui dan banyak digunakan para ulama/ahli pendidikan untuk menunjuk pada arti guru.
Kriteria kepribadian guru dipandang sangat penting oleh sebab tugas guru bukan saja melaksanakan pendidikan, ia juga dituntut dapat memperbaiki pendidikan yang telah terlanjur salah diterima anak sekaligus mengadakan “re-education and reconstruction of personality”. Yaitu seorang guru harus menjadi pembaharu dalam pembelajaran yang selama ini salah diterima anak didiknya, serta berusaha untuk memperbaiki dirinya juga muridnya agar menjadi pribadi yang kuat
Berdasarkan uraian tersebut, al-Ghazali menggambarkan sosok guru yang memiliki akhlak ideal kepada muridnya adalah guru yang memiliki motivasi mengajar yang tulus, yaitu ikhlas dalam mengamalkan ilmunya, bertindak sebagai orang tua yang penuh kasih sayang kepada anaknya, mampu menggali potensi yang dimiliki para siswa, bersikap terbuka dan demokratis untuk menerima dan menghargai pendapat para siswanya, dapat bekerja sama dengan mereka dalam memecahkan masalah, dan ia menjadi tipe ideal atau idola bagi siswanya, sehingga siswa itu mengikuti perbuatan baik yang dilakukan gurunya menuju jalan akhirat.




[1] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, (Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 1991) , 103
[2] Ibid, 104
[3] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (jakarta: PT. Pustaka Panji Mas,1984), 181
[4] Assegaf, Rachmad Abd, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), 99
[5] Ibid, 101
[6] Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 50
[7] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo,
2000), 95
[8] Muhammad al-Ghazali, Ihya ulumu al-Din, terj. Moh. Rifa‟i, (Semarang: CV. Mizan,
1979), 214.
[9] Zainuddin, dkk, 50.
[10] Ibid, 51
[11] Ibid, 52
[12] Zainuddin, dkk, 59
[13] Ibid, 62-67
[14] Imam al-Ghazali, Ihya ulum al-Din juz 1, (Beirut: Dar al-Ma‟arif, 1951),  97.
[15] Zainuddin, dkk,  55.
[16] Imam al-Ghazali, 99.
[17] Ibid,. 95.
[18] Zainuddin, dkk, 78.
[19] Imam al-Ghazali, 97.
[20] Zainuddin, dkk, 61-62.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar