BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Secara
akademis, pendidik adalah tenaga kependidikan yakni anggota masayarakat yang mengabdikan
diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan yang berkualifikasi
sebagai pendidik, dosen, konselor, pamong belajar, dan lain.
Sedangkan secara
istilah, pendidik adalah orang-orang yang yang bertanggungjawab terhadap
perkembangan peserta didik dengan dengan mengupayakan perkembangan seluruh
potensi peserta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotor sesuai
dengan ajaran islam.
Al-Ghazali menggunakan
istilah pendidik dengan berbagai kata seperti, al-Muallimin(guru),
al-Mudarris(pengajar), al-Muaddib(pendidik), dan al-Wallid(orang tua).menurut
al-ghazali pekerjaan mengajar adalah kegiatan yang paling dibutuhkan dan paling
sempurna peranannya, karena seorang guru menyempurnakan dan menyucikan hati
manusia, yang paling utama seorang guru harus membimbing anak didiknya agar
beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Menurut al-Ghazali seorang pendidik
harus memiliki sikap yang sabar dalam menerima masalah-masalah yang ditanyakan
siswa, bersifat kasih dan tidak pilih kasih, menanamkan sifat yang bersahabat
di dalam hatinya terhadap semua murid-muridnya, adanya minat dan perhatian
terhadap proses belajar mengajar serta membimbing dan mendidik murid dengan
sebaik-baiknya.
Al-Ghazali berpendapat
kewajiban mengajar untuk orang yang berilmu pengetahuan yang mampu hanya
semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah serta mempreroleh pahala
dari-Nya. Tetapi bukan semata-mata untuk mendapatkan gaji(upah). Al-Qobisi
memberikan kesimpulan bahwa seorang guru boleh menerima gaji(upah). Sedangkan
al-Ghazali berpendapat lain kalau dia mengharamkan gajiguru, karena gaji yang
tercela (diharamkan) sebagai yang dikecam al-Ghazali itu adalah apabila
Al-Quran (ilmu-ilmu yang lain ) dijadikan sebagai alat untuk mencari rezeki,
menumpuk kekayaan, bahkan satu-satunya tujuan mengajar (dari seorang guru)
hanya untuk mencari nafkah dan mencukupi segala kebutuhan rumah tangganya.
B.
Rumusan
masalah
1.
Bagaimana
biografi singkat tentang Al-Ghazali?
2.
Bagaimana
pendidik menurut perspektif Al-Ghazali?
3.
Bagaimana
tugas dan kewajiban pendidik dalam perspektif Al-Ghazali?
4.
Bagaimana
akhlaq pendidik yang ideal dalam perspektif Al-Ghazali?
5.
Bagaimana
akhlaq pendidik terhadap peserta didik dalam perspektif Al-Ghazali?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui biografi singkat tentang Al-Ghazali.
2.
Untuk
mengetahui pendidik menurut Al-Ghazali.
3.
Untuk
mengetahui tugas dan kewajiban pendidik dalam perspektif Al-Ghazali.
4.
Untuk
mengetahui akhlaq pendidik yang ideal dalam perspektif Al-Ghazali.
5.
Untuk
mengetahui akhlaq pendidik terhadap peserta didik dalam perspektif Al-Ghazali.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
singkat Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir
di desa Thus. Wilayah Khurasan, Iran pada tahun 450 H/ 1058 M. ayahnya seorang
pengrajin wol dan pedagang hasil tenun. Dia adalah pemikir ulung Islam yang
menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra
yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini didasarkan
pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan
pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai serangan.[1]
Al-Ghazali adalah orang yang pertama kali menggabungkan antara sufisme dan
syari’ah dalam satu sistem. Ia belajar ilmu pertama kali pada seorang sufi di
negara Thus, kemudian ia pindah ke Jurjan dan Naisabur untuk belajar ilmu agama
pada ulama besar yang termashur yaitu Imam al-Haramain Diya al-Din al-Juwaini,
ia seorang direktur sekolah di Naisabur, ilmu yang dipelajarinya.adalah ilmu
fiqih, ushul fiqih, mantiq, dan ilmu kalam.[2]
Ia juga menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifat tentang Tuhan, ia
tidak akan mengatakan kata-kata Ya Allah atau Ya Rabb, karena memanggil Tuhan
dengan kata-kata serupa itu menunjukkan bahwa Tuhan masih berada dibelakang
tabir orang yang berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya
dengan kata-kata itu.[3] Baginya
ma’rifat lebih dulu urutannya dari pada mahabah, karena mahabah timbuh dari
ma’rifat dan mahabah bagi al-Ghazali bukanlah mahabah sebagaimana yang di
ucapkan oleh rabiah, tetapi mahabah baginya adalah dalam bentuk cinta seorang
kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki,
kesenangan, dan lain-lain. Mahabah dan ma’rifat adalah setinggi-tingginya
tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh dari
ma’rifat menurutnya lebih bermutu dan lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh
dengan akal.
Sebelum ayahnya Al-Ghazali meninggal dunia, ia pernah menitipkan kedua
anaknya (seorang diantaranya adalah Muhammad, yang kemudian lebih dikenal
dengan sebutan Al-Ghazali), kepada seorang sufi (sahabat karib ayahnya).
Ayahnya berwasiat kepada sahabatnya untuk memberikan pendidikan kepada kedua
anaknya dengan menggunakan harta warisan yang di tinggalkannya.[4]
Setelah harta peninggalan ayahnya habis terpakai, tidaklah mungkin bagi
sang sufi itu untuk menafkahi mereka berdua, karena pada dasarnya ia pun hidup
dalam kekurangan. Namun, beliau memberikan masukan agar mereka melanjutkan
belajar ke madrasah, salain karena disana mereka bisa mewujudkan cita-cita
luhur mereka untuk menjadi orang yang alim, mereka juga akan mendapatkan makan untuk
kelangsungan hidup mereka. Bersama saudaranya (Ghazali dan Ahmad) tidak
menyia-nyiakan kesempatan emas ini untuk mendapatkan pendidikan yang
setinggi-tingginya. Memang, Pada saat itu masalah pendidikan sangat
diperhatikan, pendidikan dan biaya hidup para penuntut ilmu di tanggung oleh
pemerintah dan pemuka masyarakat. Sehingga tidak mengherankan jika pada saat
itu bermunculannya para cendikiawan , baik dikalangan bawah, menengah, sampai elit.
Di dalam madrasah tersebut, Al-Ghazali (seorang anak yang dititipkan
tersebut) mempelajari ilmu fiqh kepada Ahamad bin Muhammad Ar-Razikani dan
mempelajari tasawwuf kepada Yusuf An-Nasaj, sampai pada usia 20 tahun. Kemudian
Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nidhomiyyah, dan disinilah ia bertemu dengan
imam Haromain.[5]
Dan pada tahun 483 H/1090 M. ia diangkat menjadi guru besar di Universitas
Nidhomiyyah Bagdad. Tugas dan tanggung jawabnya itu dilaksanakan dengan
berhasil. Selama di Bagdad, selain mengajar ia juga mengadakan
bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan bathiniyyah, ismailliyah,
filsafat, dan lain-lain.
B.
Pendidik
perspektif Al-Ghazali
Kata guru berasal dari bahasa
Indonesia yang berarti orang yang mengajar. Dalam bahasa inggris dijumpai kata teacher
yang berarti pengajar. Dalam paradigma Jawa, pendidik diidentikkan dengan
(gu dan ru) yang berarti “digugu dan ditiru”. Dikatakan digugu
(dipercaya) karena guru mempunyai seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya
ia memiliki wawasandan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini.
Dikatakan ditiru (diikuti) karena guru mempunyai kepribadian yang utuh, yang
karenanya segala tindak tanduknya patutu dijadikan panutan dan suri tauladan
oleh peserta didiknya
Al-Ghazali mempergunakan istilah
guru dengan kata seperti, almuallimin (guru).[6] Pendapat
al-Ghazali ini berasal dari istilah bahasa Arab yaitu al-alim (jamaknya
ulama) atau al-Mualim, yang berarti orang yang mengetahui dan banyak
digunakan para ulama/ahli pendidikan untuk menunjuk pada arti guru. Selain itu,
kata al-alim diungkap dalam bentuk jamak, al-Alimuun.
Hal ini sejalan dengan yang
dikatakan Abuddin Nata bahwasanya guru berasal dari kata al-alim berarti
seorang guru yang harus memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi, sehingga
mampu menangkap pesanpesan, hikmah, petunjuk, dan rahmat dari segala ciptaan
Tuhan serta memiliki potensi batiniyah yang kuat sehingga ia dapat mengarahkan hasil
kerja dari kecerdasan untuk diabdikan kepada Tuhan. Menurut al- Ghazali guru
adalah seorang yang bekerja menyempurnakan, membersihkan, dan membawakan hati
muridnya mendekatkan kepada Allah SWT. Abuddin Nata menambahkan, al-Ghazali
berpendapat bahwa guru yang diserahi tugas mendidik adalah guru yang selain
cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan
kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam,
dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi
muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar,
mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.[7]
Selanjutnya dijumpai pula
pendapatnya al-Ghazali hendaknya seorang guru tidak mengharapkan imbalan, balas
jasa ataupun ucapan terima kasih, tetapi dengan mengajar itu bermaksud mencari
keridhoan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.[8] Sama
seperti pendapat Zakiah Daradjat, dan kecintaan terhadap pekerjaan guru akan
bertambah besar apabila dihayati benar-benar keindahan dan kemuliaan tugas ini,
karena boleh jadi karena boleh jadi itu sebenarnya tidak sengaja mengajar, akan
tetapi ia menjadi guru hanyalah untuk mencari nafkah, maka pekerjaannya sebagai
guru dinilai dari segi material. Apabila yang dipandang materi atau hasil
lansung yang diterimanya tidak seimbang dengan beban kerja yang dipikulnya,
maka ia akan mengalami kegoncangan. Sehingga tindakan dan sikapnya terhadap
anak didik akan terpengaruh pula. Hal itupun dapat merusak nilai pendidikan
yang diterima oleh anak didik. Dapat dipahami bahwasanya pendapat al-Gazhali
tentang guru hampir sama dengan pendapat para tokoh pendidikan masa kini, akan
tetapi al-Ghazali lebih luas dalam memberi pengertian guru. Al-Ghazali
menggunakan istilah dalam memberikan pengertian guru yang berasal dari bahasa
Arab, yaitu al-Muallim (guru). Muallim adalah orang yang menguasai ilmu
dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan,
menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu
pengetahuan, internalisasi dan implementasi. Secara luas al-Ghazali menjelaskan
bahwa guru adalah seorang yang bekerja menyempurnakan, membersihkan, dan
membawakan hati muridnya mendekatkan kepada Allah SWT, juga seorang guru harus
memiliki kesempurnaan akal dan fisiknya, memiliki akhlak yang baik dan
mengharapkan gaji.
Al-Ghazali menjelaskan bahwa ada
tiga hal yang menjadi alasan dalam profesi guru yaitu:[9]
a.
Alasan
yang berhubungan dengan sifat naluriyah
Dalam kitab Ihya Ulum al-Din ia menyebutkan “apabila ilmu
itu lebih utama dalam segala hal, maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih
mulia, maka mengajarkannya adalah memberikan faedah bagi keutamaan itu”. Jadi
profesi guru sebagai pengajar dan pendidik adalah sangat mulia, karrena cara
naluri orang yang berilmu itu dimuliakan dan dihormati orang. Dan ilmu
pengetahuan itu sendiri adalah mulia, maka guru sebagai orang yang
mengajarkannya adalah memberikan kemuliaan bagi murid yang diajarkannya. Hal
ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Zainuddin yang mengatakan bahwa guru yang
memiliki tugas mulia itu menduduki posotif-status terhormat dan mulia dengan
kehormatan dan kemulian itu membawa konsekuensi logis bahwa pengajar lebih dari
sekedar petugas gajian.
b.
Alasan
yang berhubungan dengan kemanfaatan umum.[10]
Al-Ghazali mengatakan: “orang yang mempunyai ilmu itu berada dalam
berikut: mencari faedah guna menuntut ilmu, mencari hasil pengetahuan sehingga
ia tidak bertanya, dan memberikan wawasan ilmu dan mengajarkannya”. Hal ini
sejalan dengan perkataan Ali Saifuddin yang menyatakan pekerjaan guru adalah
pekerjaan yang paling mulia, sesuai dengan filsafat hidupnya yang menjunjung
tinggi nilai-nilai sikap pengabdiannya, yaitu pelayanan jasa pada masyarakat dan
kemanusiaan. Begitu pula yang dijelaskan oleh Zainuddin bahwa barang siapa
telah mencapai ilmu pengetahuan, kemudian ia dapat mengambil faedahnya
selanjutnya diajarkan, maka ia laksana matahari yang bersinar dan menyinari
lainnya. Ia adalah laksana kasturi yang dapat mengharumkan dan ia sendiri bau
harum.
Jadi dapat dimengerti bahwa al-Ghazali menjelaskan bahwa kemuliaan
mengajar adalah memiliki dua segi kemanfaatan. Pertama bagi orang yang
mengajarkan ilmu pengetahuan itu sendiri akan semakin bertambah pengetahuan dan
pengalamannya, sehingga dapat mengambil manfaatnya dan mengambil ilmu
pengetahuan sebaikbaiknya. Kedua bagi orang lain yang diberi ilmu pengetahuan,
diajar dan dididik akan semakin bertambah pula pengetahuan dan pengalamannya,
sehingga dapat mengambil manfaat ilmu pengetahuan tersebut.
c.
Alasan
yang berhubungan dengan unsur yang dikerjakan.[11]
Al-Ghazali menyebutkan: “seorang guru adalah berurusan langsung
dengan hati dan jiwa manusia, dan wujud yang paling mulia di muka bumi ini
adalah jenis manusia. Bagian paling mulia dari bagian-bagian (jauhar) tubuh
manusia adalah hatinya, sedangkan guru adalah adalah bekerja menyempurnakan,
membersihkan, dan membawakan hati itu mendekatkan kepada Allah SWT”. Senada
dengan al-Ghazali, Abuddin Nata menjelaskan bahwa guru dapat membersihkan diri
orang lain dari segala perbuatan dan akhlak yang tercela. Sama halnya yang
dikatakan Zainuddin bahwa seorang guru adalah orang yang menempati status mulia
di muka bumi, ia mendidik jiwa, hati, akal dan roh manusia.
Urian tersebut menjelaskan bahwa al-Ghazali lewat pengaruh
logikanya menganggap posisi guru adalah orang yang paling mulia. Karena guru
adalah seseorang yang bertugas membersihkan dan menyempurnakan hati murid-muridnya,
yang dalam hal ini al-Ghazali menjelaskan bahwa hati adalah bagian paling mulia
dari tubuh manusia. Manakala seoirang guru mampu bekerja secara optimal, yaitu
membersihkan dan menyempurnakan hati anak didiknya, maka sudah sepatutnya
seorang guru tersebut adalah makhluk yang termulia.
C.
Tugas
dan Kewajiban pendidik perspektif Al-Ghazali
Al-Ghazali
menjelaskan tentang tugas dan kewajiban seorang pendidik pada bagian khusus
dari kitabnya yaitu “Ihya Ulum al-Din”dan “Mizan al-Amal” dengan pembahasan
yang luas dan mendalam. Dapat diuraikan sebagai berikut:[12]
a.
Mengikuti
jejak Rasulullah dalam tugas dan kewajibannya.
Adapun syarat
bagi seorang guru, maka ia layak menjadi ganti Rasulullah SAW, dialah
sebenar-benarnya alim (berilmu, intelektual). Tetapi tidak pulalah tiap-tiap
orang yang alim itu layak menempati kedudukan sebagai ganti Rasulullah SAW,
itu. Kemudian al-Ghazali berpendapat: “seorang guru hendaknya mengikuti ajaran
Rasulullah SAW, maka ia tidak pernah mencari upah, balas jasa dan ucapan terima
kasih dalam mengajarkan ilmu pengetahuan. Tetapi maksud mengajar adalah mencari
keridhoan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya” jadi, seharusnya seorang guru
menilai tujuan dan tugas mengajarkan adalah karena mendekatkan diri kepada
Allah semata-mata. Akan tetapi, jika hanya untuk memenuhi kebutuhan tidak apa,
al-Ghazali melarang jika gaji itu untuk memperkaya diri dan menumpuk harta.
b.
Memberikan
kasih sayang terhadap peserta didik.
Al-Ghazali
mengatakan “memberikan kasih sayang kepada muridmurid dan memberlakuakan mereka
seperti anaknya sendiri”. Dengan demikian seorang guru seharusnya menjadi
pengganti dan wakil kedua orang tua anak didiknya, yaitu mencintai anak
didiknya seperti memikirkan keadaan anaknya. Jadi, hubungan psikologis antara
kedua orang tua dengan anaknya, seperti hubungan naluriah antara kedua orang tua
dan ananya, sehingga hubungan timbal balik yang harmonis tersebut akan
berpengaruh positif ke dalam proses pendidikan dan pengajaran
c.
Menjadi
teladan terhadap anak didik
Al-Ghazali mengatakan
“Seorang guru itu harus mengamalkan ilmunya, lalu perkataannya jangan
membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan mata
hati. Sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. Padahal yang
mempunyai mata kepala adalah lebih banyak”. Dapat dikatakan bahwa dasar-dasar yang
dikemukakan al-Ghazali dalam pentingnya suri teladan terhadap anak didik,
mempunyai relevansi dengan teori-teori pendidikan modern Indonesia.
D.
Akhlaq
pendidik yang Ideal perspektif Al-Ghazali
Kriteria kepribadian guru dipandang sangat penting oleh sebab tugas
guru bukan saja melaksanakan pendidikan, ia juga dituntut dapat memperbaiki
pendidikan yang telah terlanjur salah diterima anak sekaligus mengadakan “re-education
and reconstruction of personality”. Yaitu seorang guru harus menjadi
pembaharu dalam pembelajaran yang selama ini salah diterima anak didiknya,
serta berusaha untuk memperbaiki dirinya juga muridnya agar menjadi pribadi
yang kuat.
a.
Kepribadian
guru
Al-Ghazali menjelaskan kepribadian guru yang ideal diantaranya:[13]
1)
Sabar
menerima masalah-masalah yang ditanyakan murid dan harus diterima baik.
2)
Senantiasa
harus bersifat kasih tidak pilih kasih.
3)
Jika
duduk harus sopan dan tunduk, tidak riya/pamer.
4)
Tidak
takabur, kecuali terhadap orang yang zalim, dengan maksud mencegah dari
tindakannya.
5)
Bersikap
tawadhu dalam pertemuan-pertemuan.
6)
Sikap
dan pembicaraannya tidak main-main.
7)
Menanam
sifat bersahabat di dalam hatinya terhadap semua murid-muridnya.
8)
Menyantuni
serta tidak membentak-bentak orang bodoh.
9)
Membimbing
dan mendidik murid yang bodoh dengan cara sebaik-baiknya.
10)
Berani
berkata: saya tidak tahu, terhadap masalah-masalah yang tidak dimengerti.
11)
Menampilkan
hujjah yang benar. Apabila ia berada dalam hak yang salah, bersedia ruju‟
kepada kebenaran.
Dapat disimpulkan dari pemaparan al-Ghazali, dapat diklasifikasikan
kepribadian guru terbagi tiga aspek. Pertama, tabiat dan prilaku
pendidik, yaitu sabar menerima masalah-masalah yang ditanyakan murid dan
harus diterima baik, senantiasa harus bersifat kasih tidak pilih kasih, jika
duduk harus sopan dan tunduk, tidak riya/pamer, tidak takabur, kecuali terhadap
orang zalim, dengan maksud mencegah dari tindakannya, dan bersikap tawadhu
dalam pertemuan-pertemuan.
E.
Akhlaq
pendidik terhadap peserta didik perspektif Al-Ghazali
Al-Ghazali memandang bahwa pekerjaan mengajar adalah lebih mulia
dibandingkan dengan memanfaatkan harta. Hal demikian didasarkan pada alasan,
karena orang yang meminta ilmu itu berlapis-lapis, ada yang kaya, miskin, raja,
rakyat, dan sebagainya. Sedangkan orang yang meminta harta hanya orang miskin
atau orang yang membutuhkan saja. Oleh karena itu seorang guru harus memiliki akhlak
sesuai dengan tingkatan orang yang menuntut ilmu tersebut atau muridnya,
diantaranya:
Pertama, bersikap lembut
dan kasih sayang kepada para pelajar. Dalam kaitan ini al-Ghazali menilai bahwa
seorang guru dibandingkan dengan orang tua anak, maka guru lebih utama dari
orang tua anak tersebut. Menurutnya orang tua berperan sebagai penyebab adanya
si anak di dunia yang sementara ini, sedangkan guru menjadi penyebab bagi
keberadaan kehidupan yang kekal di akhirat. Oleh sebab itu seorang guru
memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan dengan posisi orang tua. Oleh karena
itu seorang guru wajib memperlakukan muridnya dengan rasa kasih sayang dan
mendorongnya agar mempersiapkan diri untuk mendapatkan kehidupan akhirat yang
kekal dan bahagia. Sedangkan jika seoarang guru sibuk menyiapkan muridnya untuk
kehidupan duniawi, maka ia tidak akan bersikap kasih sayang yang demikian itu,
melainkan sebaliknya yaitu akan menghancurkannya.[14]
Kedua, seorang guru
tidak meminta imbalan atas tugas mengajarnya. Sebagaimana perkataannya
“lihatlah kesudahan agama di tangan orang-orang yang mengatakan bahwa mereka
bermaksud mendekatkan diri kepada Tuhan (Allah) oleh sebaab itu mereka memiliki
ilmu fikih dan kalam serta mengajarkan dua ilmu itu dan lain-lainya lagi. Mereka
menghabiskan harta dan pangkat serta menanggung kehinaan untuk melayani
sultan-sultan untuk mencari pembagian makanan. Alangkah hinannya seorang alim
yang rela kedudukan seperti itu.[15]
Hal yang demikian karena mengikuti apa yang dilakuakan Allah dan
Rasul-Nya yang mengajar manusia tanpa memberi imbalan, tanpa meminta ucapan terima
kasih, tetapi semata-mata karena karunia Allah. Oleh sebab itu seorang guru
harus melaksanakan tugas mengajarnya sebagai anugrah dan rasa kasih sayang
kepada orang yang membutuhkan atau memintanya, tanpa disertai keinginan untuk mendapatkan
apa-apa. Dan apabila tugasnya itu dihargai, maka amalnya itu bukanalah karena
Allah. Dalam hal ini dapat disimpulkan secara tersirat bahwa al-Ghazali
mengharamkan gaji guru, apabila al-Qur‟an (ilmu-ilmu lain) dijadiakan alat
sebagai mencari rezeki, menumpuk kekayaan, bahkan satu-satunya tujuan mengajar
(dari seorang guru), tetapi yang boleh adalah hanya mencari nafkah dan mencukupi
segala kebutuhan rumah tangganya.
Ketiga, tidak
menyembunyikan ilmu yang dimilikinya sedikitpun. Ia harus sungguh-sungguh
tampil sebagai penasehat, pembimbing para pelajar ketika pelajar itu
membutuhkannya. Untuk itu perlu diupayakan ilmu sesuai dengan setiap tingkat
kecerdasan para siswa.[16]
Keempat, menjauhi
akhlak yang buruk dengan cara menghindari sedapat mungkin. Berkenaan dengan ini
maka sesuai dengan istilah tarbiyah yang pada intinya menumbuhkan
pemahaman melalui diri si anak itu sendiri, dan karenanya waqjib mengikuti cara-cara
yang sesuai dalam memperlakukanpara siswa disertai petunjuk dan arahan guru.
Untuk ini al-Ghazali menyerukan agar menempuh cara mengajar yang benar, seperti
mengulang bukan menjelaskan, kasih sayang bukan merendahkan, karena menjelaskan
akan menyebabkan tersumbatnya potensi si anak dan timbul rasa bosan dan mendorong
cepat hilangnya hafalan. Menurut al-Ghazali ini termasuk pekerjaan mengajar
yang mendalam.[17]
Kelima, tidak
mewajibkan kepada para pelajar agar mengikuti guru tertentu dan
kecenderungannya. Dalam hal ini al-Ghazali melihat kebiasaan dari sebagian guru
fikih yang menjelekkan guru bahasa dan sebaliknya, dan sebagian ulama kalam
memusuhi ulama fikih. Demikian seterusnya sehingga setiap guru menilai bahwa
ilmunya lebih utama dari lainnya. Hal ini merupakan bagian yang harus dihindari
dan dijauhi oleh seorang guru. Menurut al-Ghazali hal yang demikian termasuk
kelemahan dan tidak mendorong pengembangan akal pikiran para siswa. Yang
demikian itu termasuk akhlak tercela, dan setiap guru harus menjauhinya.
Keenam, memperlakukan
murid sesuai dengan kesanggupannya. Sebagaimana al-Ghazali sarankan kepada guru
yaitu “seorang guru hendaklah dapat memperkirakan daya pemahaman muridnya dan jangan
diberikan pelajaran yang belum sampai tingkat akal fikirnnya, sehingga ia akan
lari dari pelajaran atau menjadiaka tumpul otaknya”.[18] Hal
ini didasarkan kepada pemahaman bahwa tujuan mengajar bukanlah memperbanyak
pengajaran dan melaksanakan dengan cepat, melainkan setahap demi setahap dan
agar tidak beralih dari satu tema ke tema yang lain, dari satu pokok bahasan ke
bahasan yang lainnya kecuali murid telah paham dan menguasainya dengan baik
pelajaran terdahulu. Bila hal tersebut tidak dilakukan guru, maka murid tidak
akan pernah memahami pelajaran yang diajarkan, otak mereka akan tumpul dan
proses pembelajaran pun akan sia-sia.
Ketujuh, kerja sama
dengan para pelajar di dalam membahas dan menjelaskan. Jika terpenuhi syarat-syarat
ketelitian, pemjelasan dan keterangan dari suatu ilmu yang diberikan kepada
seorang pelajar, dan apabila ia merasa belum menguasai dengan sempurna dan mencapai
tujuan dengan sesungguhnya, dan jika dimungkinkan pelajaran lebih dapat
menjelaskan dan tergerak hatinya, namun ia kikir menyampaikannya. Hal ini
didasarkan pada pemikiran bahwa pelajar sendiri meiliki pemahaman dan
kecerdasan lebih sempurna dan mampu untuk mengungkapkan apa yang disampaikan
atau datang kepadanya. Al-Ghazali mengatakan, bahwa mungkin saja terjadi
seorang pelajar diberikan kecerdasan dan kesempurnaan akal oleh Allah SWT, sehingga
ia amat cerdas dan brilian sehingga keadaan ini lebih beruntung.[19]
Kedelapan, seorang guru
harus mengamalkan ilmunya. Al-Ghazali mengatakan “seorang guru itu harus
mengamalkan ilmunya, lalu perkataannya jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya
ilmu itu dapat dilihat dengan mata hati. Sedangkan perbuatan dapat dilihat
dengan mata kepala. Padahal yang mempunyai mata kepala adalah lebih banyak.[20] Sebagain
besar atau semua orang yang menggeluti masalah pendidikan dan pengajaran sangat
mengingatkan pentingnya mengamalkan syarat ini. Menurut kebiasaan bahwa seorang
guru adalah sebaagai panutan, dan para siswa mengikuti apa yang ditunjukkan
pada gurunya.
Berdasarkan uraian tersebut, al-Ghazali menggambarkan sosok guru
yang memiliki akhlak ideal kepada muridnya adalah guru yang memiliki motivasi
mengajar yang tulus, yaitu ikhlas dalam mengamalkan ilmunya, bertindak sebagai
orang tua yang penuh kasih sayang kepada anaknya, mampu menggali potensi yang
dimiliki para siswa, bersikap terbuka dan demokratis untuk menerima dan menghargai
pendapat para siswanya, dapat bekerja sama dengan mereka dalam memecahkan
masalah, dan ia menjadi tipe ideal atau idola bagi siswanya, sehingga siswa itu
mengikuti perbuatan baik yang dilakukan gurunya menuju jalan akhirat.
BAB III
KESIMPULAN
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad
al-Ghazali. Ia lahir di desa Thus. Wilayah Khurasan, Iran pada tahun 450 H/ 1058
M. ayahnya seorang pengrajin wol dan pedagang hasil tenun. Dia adalah pemikir
ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan
agama (Zainuddin), samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu
agama. Gelar ini didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang
penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama.
Al-Ghazali mempergunakan istilah
guru dengan kata seperti, almuallimin (guru). Pendapat al-Ghazali ini
berasal dari istilah bahasa Arab yaitu al-alim (jamaknya ulama) atau al-Mualim,
yang berarti orang yang mengetahui dan banyak digunakan para ulama/ahli
pendidikan untuk menunjuk pada arti guru.
Kriteria
kepribadian guru dipandang sangat penting oleh sebab tugas guru bukan saja
melaksanakan pendidikan, ia juga dituntut dapat memperbaiki pendidikan yang
telah terlanjur salah diterima anak sekaligus mengadakan “re-education and
reconstruction of personality”. Yaitu seorang guru harus menjadi pembaharu
dalam pembelajaran yang selama ini salah diterima anak didiknya, serta berusaha
untuk memperbaiki dirinya juga muridnya agar menjadi pribadi yang kuat
Berdasarkan uraian tersebut, al-Ghazali menggambarkan sosok guru
yang memiliki akhlak ideal kepada muridnya adalah guru yang memiliki motivasi
mengajar yang tulus, yaitu ikhlas dalam mengamalkan ilmunya, bertindak sebagai
orang tua yang penuh kasih sayang kepada anaknya, mampu menggali potensi yang
dimiliki para siswa, bersikap terbuka dan demokratis untuk menerima dan
menghargai pendapat para siswanya, dapat bekerja sama dengan mereka dalam
memecahkan masalah, dan ia menjadi tipe ideal atau idola bagi siswanya,
sehingga siswa itu mengikuti perbuatan baik yang dilakukan gurunya menuju jalan
akhirat.
[1]
C.A. Qadir, Filsafat dan
Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, (Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 1991)
, 103
[2]
Ibid, 104
[3]
Hamka, Tasawuf Perkembangan
dan Pemurniannya, (jakarta: PT. Pustaka Panji Mas,1984), 181
[4]
Assegaf, Rachmad Abd, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2013), 99
[5]
Ibid, 101
[6]
Zainuddin, dkk, Seluk
Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 50
2000),
95
1979),
214.
[9]
Zainuddin, dkk, 50.
[10]
Ibid, 51
[11]
Ibid, 52
[12]
Zainuddin, dkk, 59
[13]
Ibid, 62-67
[14]
Imam
al-Ghazali, Ihya ulum al-Din juz 1, (Beirut: Dar al-Ma‟arif, 1951), 97.
[15]
Zainuddin, dkk, 55.
[16]
Imam al-Ghazali, 99.
[18]
Zainuddin, dkk, 78.
[19]
Imam al-Ghazali, 97.
[20]
Zainuddin, dkk, 61-62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar