Nama : Shinta Akhlakul Karimah
NIM : D71213135
Kelas/Jurusan : C / PAI
SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER
FIQIH MUAMALAH FARA’IDH
Jawablah
pertanyaan berikut ini dengan ringkas, cermat dan tepat!
1.
Jelaskan ruang
lingkup fiqih Muamalah beserta dengan prinsip-prinsipnya!
Jawab:
Ruang lingkup fiqih muamalah terbagi menjadi dua:
a.
Al-Muamalah Al-Adabiyah. Hal-hal yang
termasuk Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah ijab kabul, saling
meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran
pedagang, penipuan, pemalsuan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indera
manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta.
b.
Al-Muamalah Al-Madiyah
·
Jual beli (Al-bai’ at-Tijarah)
·
Gadai (rahn)
· Jaminan/
tanggungan (kafalah)
· Pemindahan
utang (hiwalah)
· Jatuh bangkit
(tafjis)
· Batas bertindak
(al-hajru)
· Perseroan atau
perkongsian (asy-syirkah)
· Perseroan harta
dan tenaga (al-mudharabah)
· Sewa menyewa
tanah (al-musaqah al-mukhabarah)
· Upah (ujral
al-amah)
· Gugatan
(asy-syuf’ah)
· Sayembara
(al-ji’alah)
· Pembagian
kekayaan bersama (al-qisamah)
· Pemberian
(al-hibbah)
· Pembebasan
(al-ibra’), damai (ash-shulhu)
· beberapa
masalah mu’ashirah (mukhadisah), seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit,
dan masalah lainnnya.[12]
· Pembagian hasil
pertanian (musaqah)
· Kerjasama dalam
perdagangan (muzara’ah)
· pembelian
barang lewat pemesanan (salam/salaf)
· Pihak
penyandang dana meminjamkan uang kepada nasabah/ Pembari modal (qiradh)
· Pinjaman barang
(‘ariyah)
· Sewa menyewa
(al-ijarah)
· Penitipan
barang (wadi’ah)
Peluang ijtihad dalam aspek tersebut diatas harus tetap terbuka, agar hukum
Islam senantiasa dapat memberi kejelasan normatif kepada masyarakat sebagai pelaku-pelaku
ekonomi.
Adapun prinsip-prinsip dasar fiqih muamalah adalah :
1.
Hukum Asal
dalam Muamalah adalah Mubah (diperbolehkan).
Ulama fiqh sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah
diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya. Dengan demikian,
kita tidak bisa mengatakan bahwa sebuah transaksi itu dilarang sepanjang belum/
tidak ditemukan nash yang secara sharih melarangnya. Berbeda dengan ibadah,
hukum asalnya adalah dilarang. Kita tidak bisa melakukan sebuah ibadah jika memang
tidak ditemukan nash yang memerintahkannya, ibadah kepada Allah tidak bisa
dilakukan jika tidak terdapat syariat dari-Nya.
Allah berfirman:
Katakanlah, Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu,
lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah, Apakah
Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan
saja terhadap Allah? (QS.Yunus:59). Ayat ini mengindikasikan bahwa Allah
memberikan kebebasan dan kelenturan dalam kegiatan muamalah, selain itu syariah
juga mampu mengakomodir transaksi modern yang berkembang.
2.
Konsen Fiqh Muamalah untuk Mewujudkan Kemaslahatan
Fiqh muamalah akan senantiasa berusaha mewujudkan kemaslahatan, mereduksi
permusuhan dan perselisihan di antara manusia. Allah tidak menurunkan syariah,
kecuali dengan tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan hidup hamba-Nya, tidak
bermaksud memberi beban dan menyempitkan ruang gerak kehidupan manusia. Ibnu
Taimiyah berkata: Syariah diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan dan
menyempurnakannya, mengeliminasi dan mereduksi kerusakan, memberikan alternatif
pilihan terbaik di antara beberapa pilihan, memberikan nilai maslahat yang
maksimal di antara beberapa maslahat, dan menghilangkan nilai kerusakan yang
lebih besar dengan menanggung kerusakan yang lebih kecil .
3.
Menetapkan
Harga yang Kompetitif
Masyarakat sangat membutuhkan barang produksi, tidak peduli ia seorang yang
kaya atau miskin, mereka menginginkan konsumsi barang kebutuhan dengan harga
yang lebih rendah. Harga yang lebih rendah (kompetitif) tidak mungkin dapat
diperoleh kecuali dengan menurunkan biaya produksi. Untuk itu, harus dilakukan
pemangkasan biaya produksi yang tidak begitu krusial, serta biaya-biaya
overhead lainnya.
Islam melaknat praktik penimbunan (ikhtikar), karena hal ini berpotensi
menimbulkan kenaikan harga barang yang ditanggung oleh konsumen. Rasulullah SAW
bersabda: Orang yang men-supply barang akan diberi rizki, dan orang yang
menimbunnya akan mendapat laknat dalam hadits lain Rasul bersabda: Sejelek-jelek
hamba adalah seorang penimbun, yakni jika Allah (mekanisme pasar) menurunkan
harga, maka ia akan bersedih, dan jika menaikkannya, maka ia akan bahagia .
Di samping itu, Islam juga tidak begitu suka (makruh) dengan praktik
makelar (simsar), dan lebih mengutamakan transaksi jual beli (pertukaran)
secara langsung antara produsen dan konsumen, tanpa menggunakan jasa perantara.
Karena upah
untuk makelar, pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen. Untuk itu
Rasulullah melarang transaksi jual beli hadir lilbad , yakni transaksi yang
menggunakan jasa makelar.
Imam Bukhari
memberikan komentar bahwa praktik ini akan dapat memicu kenaikan harga yang
hanya akan memberatkan konsumen. Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:
Janganlah kalian melakukan jual beli talaqqi rukban yakni, janganlah kalian
menjemput produsen yang sedang berjalan ke pasar di pinggiran kota, kalian
membeli barang mereka dan menjualnya kembali di pasaran dengan harga yang lebih
tinggi.
4.
Meninggalkan
Intervensi yang Dilarang
Islam memberikan tuntunan kepada kaum muslimin untuk mengimani konsepsi
qadla dan qadar Allah (segala ketentuan dan takdir). Apa yang telah Allah
tetapkan untuk seorang hamba tidak akan pernah tertukar dengan bagian hamba
lain, dan rizki seorang hamba tidak akan pernah berpindah tangan kepada orang
lain. Perlu disadari bahwa nilai-nilai solidaritas sosial
ataupun ikatan persaudaraan dengan orang lain lebih penting daripada sekedar
nilai materi. Untuk itu, Rasulullah melarang untuk menumpangi transaksi yang
sedang dilakukan orang lain, kita tidak diperbolehkan untuk intervensi terhadap
akad atau pun jual beli yang sedang dilakukan oleh orang lain. Rasulullah
bersabda: Seseorang tidak boleh melakukan jual beli atas jual beli yang sedang
dilakukan oleh saudaranya .
5.
Menghindari Eksploitasi
Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk membantu orang-orang yang
membutuhkan, dimana Rasulullah bersabda: Sesama orang muslim adalah saudara,
tidak mendzalimi satu sama lainnya, barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya,
maka Allah akan mencukupi kebutuhannya, dan barang siapa membantu mengurangi
beban sesama saudaranya, maka Allah akan menghilangkan bebannya di hari kiamat
nanti .
Semangat hadits ini memberikan tuntunan untuk tidak mengeksploitasi sesama
saudara muslim yang sedang membutuhkan sesuatu, dengan cara menaikkan harga
atau syarat tambahan yang memberatkan. Kita tidak boleh memanfaatkan keadaan
orang lain demi kepentingan pribadi. Untuk itu, Rasulullah melarang melakukan
transaksi dengan orang yang sedang sangat membutuhkan (darurat) , Allah
berfirman: dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan
timbangan (QS. Al Araf:85).
6.
Memberikan Kelenturan dan Toleransi
Toleransi merupakan karakteristik dari ajaran Islam yang ingin
direalisasikan dalam setiap dimensi kehidupan. Nilai toleransi ini bisa
dipraktikkan dalam kehidupan politik, ekonomi atau hubungan kemasyarakatan
lainnya. Khusus dalam transaksi finansial, nilai ini bisa diwujudkan dengan
memper-mudah transaksi bisnis tanpa harus memberatkan pihak yang terkait. Karena, Allah
akan memberikan rahmat bagi orang yang mempermudah dalam transaksi jual beli.
Selain itu, kelenturan dan toleransi itu bisa diberikan kepada debitur yang
sedang mengalami kesulitan finansial, karena bisnis yang dijalankan sedang
mengalami resesi. Melakukan re-scheduling piutang yang telah
jatuh tempo, disesuaikan dengan kemapanan finansial yang diproyeksikan. Di
samping itu, tetap membuka peluang bagi para pembeli yang ingin membatalkan
transaksi jual beli, karena terdapat indikasi ke-tidak-butuh-annya terhadap
obyek transaksi (inferior product).
7.
Jujur dan
Amanah
Kejujuran
merupakan bekal utama untuk meraih keberkahan. Namun, kata jujur tidak semudah
mengucapkannya, sangat berat memegang prinsip ini dalam kehidupan. Seseorang
bisa meraup keuntungan berlimpah dengan lipstick kebohongan dalam bertransaksi.
Sementara, orang yang jujur harus menahan dorongan materialisme dari cara-cara
yang tidak semestinya. Perlu perjuangan keras untuk membumikan kejujuran dalam
setiap langkah kehidupan.
Kejujuran tidak akan pernah melekat pada diri orang yang tidak memiliki
nilai keimanan yang kuat. Seseorang yang tidak pernah merasa bahwa ia selalu
dalam kontrol dan pengawasan Allah SWT. Dengan kata lain, hanyalah orang-orang beriman
yang akan memiliki nilai kejujuran. Untuk itu, Rasulullah memberikan apresiasi
khusus bagi orang yang jujur, Seorang pedagang yang amanah dan jujur akan
disertakan bersama para Nabi, siddiqin (orang jujur) dan syuhada .
Satu hal yang
bisa menafikan semangat kejujuran dan amanah adalah penipuan (ghisy). Dalam
konteks bisnis, bentuk penipuan ini bisa diwujudkan dengan melakukan manipulasi
harga, memasang harga tidak sesuai dengan kriteria yang sebenarnya.
Menyembunyikan cacat yang bisa mengurangi nilai obyek transaksi. Dalam hal ini,
Rasulullah bersabda, Tidak dihalalkan bagi pribadi muslim menjual barang yang
diketahui terdapat cacatnya, tanpa ia memberikan informasinya .
Sebenarnya, masih terdapat beberapa prinsip pokok yang harus diperhatikan
dalam kehidupan muamalah. Di antaranya, menjauhi adan ya gharar dalam transaksi, ketidakjelasan (uncertainty) yang
dapat memicu perselisihan dan pertengkaran dalam kontrak bisnis. Semua
kesepakatan yang tertuang dalam kontrak bisnis harus dijelaskan secara detil,
terutama yang terkait dengan hak dan kewajiban, karena hal ini berpotensi
menimbulkan konflik.
Ketika kontrak bisnis telah disepakati, masing-masing pihak terkait harus
melakukan kewajiban yang merupakan hak bagi pihak lain, dan sebaliknya. Sebisa
mungkin dihindari terjadinya wan prestasi. Memiliki komitmen untuk menjalankan
kesepakatan yang tertuang dalam kontrak bisnis. Allah berfirman dalam QS
al-Maidah ayat 1. Dan yang terpenting, dalam menjalankan kontrak bisnis harus
dilakukan secara profesional. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda,
Sesungguhnya Allah menyukai seorang hamba yang profesional dalam menjalankan
pekerjaannya .
2.
Islam
membolehkan mengkonsumsi hal-hal yang diharamkan dalam kondisi
darurat, misalnya memakan daging babi.
Jelaskan dan uraikan;
a.
Dasar hukum baik ‘Aqli maupun Naqli, pengharaman memakan daging
babi,
Jawab:
Diantara hewan yang diharamkan untuk dimakan
adalah babi dan ini sudah merupakan kesepakatan kaum muslimin. Sebab pelarangan
memakan daging babi sudah dijelaskan dalam al-quran dan al-sunnah. Diantaranya
:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ
الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ
وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak
ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. AL BAQARAH [1] : 173
Dalam
ayat lain Allah berfirman :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah” (QS AL MAIDAH : 3)
Dalam ayat lain Allah
berfirman :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ
الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ
وَلا عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan)
bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain
Allah; tetapi barang siapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan
tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS
AN-NAHL : 115)
Demikian
juga sabda Rasulullah :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ
الْمَيْتَةَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ وَثَمَنَهُ
Dari Abu
Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamr dan hasil penjualannya dan
mengharamkan bangkai dan hasil penjualannya serta mengharamkan babi dan hasil
penjualannya.” (HR. Abu
Daud)
Dengan
demikian jelaslah haramnya daging babi dan seluruh anggota tubuhnya. (Ibnu Hazm
menandaskan hukum ini merupakan ijma’ dalam kitabAl Muhalla 7/390-430)
b.
Diperbolehkannya memakan daging babi dalam keadaan darurat,
perspektif empat mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi’I dan hambali).
Jawab:
Darurat yang sudah disepakati oleh
semua ulama adalah darurat dalam masalah makanan karena ditahan oleh kelaparan.
Sementara ulama memberi batas darurat itu berjalan sehari semalam orang tidak
mendapatkan makanan kecuali barang-barang yang diharamkan it. Waktu itu orang
tersebut boleh makan sekedarnya sesuai denga
dorongan darurat itu dan guna menjaga diri dari bahaya. Imam Malik
memberikan suatu pembatasan, yaitu sekedar kenyang dan boleh menyimpannya
sehingga mendapatkan makanan yang lain. Ahli fiqih yang lain berpendapat bahwa
orang tidak boleh makan, kecuali sekedar dapat mempertahankan sisa hidupnya.
Barangkali di sinilah jelasnya apa yang dimaksud dalam firman Allah swt ghairu
baghin wala ‘adin (dengan tidak sengaja dan melewati batas) itu.
Perkataan ghairu baghin
berarti tidak mencari-cari alasan untuk memenuhi keinginann (seleranya),
sedangkan yang dimaksud adalah wala ‘adin adalah tidak melewati batas
ketentuan darurat. Adapun yang dimaksud dengan daruratnya lapar adalah seperti
yang dijelaskan Allah swt dalam firmannya;
فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ
مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa
sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
3.
Perdebatan tentang Riba dan Bunga Bank dari dulu dan
sekarang terus berlangsung. Bagaimana pendapat anda tentang;
a.
Persamaan
dan perbedaan antara Riba dan Bunga Bank
Jawab:
Persamaan Riba dan Bunga Bank
Perkembangan
ekonomi kapitalis, perumus konsep bunga yang telah mengakar dan serta telah
merasuk didalam sendi-sendi system berekonomi masyarakat dunia, telah memasung
alam piker seseorang, sehingga menganggap praktek pembungaan pada setiap
pinjaman atau transaksi hutang piutang adalah suatu hal yang wajar dan
selayaknya untuk dilakukan. Rasionalitas pola piker yang di bangun oleh mereka telah
mengenyampingkan nilai keadilan yang seharusnya sebagai prinsip dasar dalam
melakukan kegiatan ekonomi. Sehingga tidak menimbulkan salah satu diantaranya
teraniaya.
Dari
pengertian bunga dan riba yang sudah dijelaskan maka dapat disimpulkan bahwa
bunga dapat di kategorikan dalam praktek riba kareja dalam pengertian dan
praktek bunga di jelaskan dengan penambahan harta pokok sama seperti praktik
riba.
Perbedaan riba dan bunga bank
Perbedaan
pendapat diantara para ulama tentang bunga bank, diantaran perbedaan pendapat
itu disimpulkan oleh Prof.Drs. Masjfuk Zuhdi, adalah sebagai berikut;
1)
Pendapat Syekh
Abu Zahra, guru besar pada fakultas hukum Universitas Cairo. Abul A’la
Al-Maududi (Pakistan), Muhammad Abdullah Al-Arabi, penasihat hukum pada islamic
Congress Cairo, dan lain-lain, menyatakan bahwa bunga bank termasuk riba
nasi’ah yang dilarang islam.
2)
Pendapat
A.Hasan, pendiri pesantren Bangil (Persis), bahwa bunga bank, seperti dinegeri
kita ini bukan riba yang diharamkan karena tidak bersifat ganda sebagaimana
dinyatakan dalam sural Ali Imran(3);130.
3)
Tarjih
Muhammadiyah di Sidoarjo JATIM tahun 1968, memutuskan bahwa bunga bank yang
diberikan oleh bank-bank negara kepada para nasabahnya, demikian pula
sebaliknya, termasuk syubhat atau mutasyabih, artinya belum jelas halal dan
haramnya. Sesuai dengan petunjuk hadis, kita harus berhati-hati menghadapi
masalah yang masih syubhat. Oleh karena itu, jika kita dalam keadaan terpaksa
atau dalam keadaan hajah, artinya keperluan yang mendesak atau penting, barulah
kita diperoleh bermuamalah dengan bank dengan sistem bunga itu sekedar saja.
4)
Menurut Lajnah
Bahsul Masa’il Nahdhatul Ulama, hukum bank dan hukum
bunganya sama seperti hukum gadai. Terdapat tiga
pendapat ulama sehubungan dengan masalah ini, diantaranya. Pertama Haram, sebab termasuk utang yang dipungut rentenir. Kedua Halal,
sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sedangkan adat yang berlaku, tidak
dapat begitu saja dijadikan syarat. Ketiga Syubhat (tidak tentu halal
haramnya), sebab para ahli hukum berselisih pendapat tentangnya. Meskipun ada perbedaan pandangan, Lajnah
memutuskan bahwa (pilihan) yang lebih berhati-hati ialah pendapat pertama,
yakni menyebut bunga bank adalah haram.
b.
Perbedaan
pendapat beberapa ulama tentang bunga bank
Jawab:
a. Jumhur
(mayoritas/kebanyakan) Ulama’ sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh karena
itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama’ terkemuka dalam konferensi
Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir
menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam
pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank.
Berbagai forum ulama internasional yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman
bunga bank.
b. Abu zahrah, Abu
‘ala al-Maududi Abdullah al-‘Arabi dan Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa bunga
bank itu termasuk riba nasiah yang dilarang oleh Islam. Karena itu umat Islam
tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai system bunga, kecuali dalam
keadaan darurat atau terpaksa. Bahkan menurut Yusuf Qardhawi tidak mengenal
istilah darurat atau terpaksa, tetapi secara mutlak beliau mengharamkannya.
Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Syirbashi, menurutnya bahwa bunga bank yang
diperoleh seseorang yang menyimpan uang di bank termasuk jenis riba, baik
sedikit maupun banyak. Namun yang terpaksa, maka agama itu membolehkan meminjam
uang di bank itu dengan bunga.
c.
Dr. Sayid Thantawi yang berfatwa tentang
bolehnya sertifikat obligasi yang dikeluarkan Bank Nasional Mesir yang secara
total masih menggunakan sistem bunga, dan ahli lain seperti Dr. Ibrahim
Abdullah an-Nashir dalam buku Sikap Syariah Islam terhadap Perbankan
mengatakan, “Perkataan yang benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan Islam tanpa
ditopang dengan kekuatan perekonomian, dan tidak ada kekuatan perekonomian
tanpa ditopang perbankan, sedangkan tidak ada perbankan tanpa riba. Ia juga
mengatakan, “Sistem ekonomi perbankan ini memiliki perbedaan yang jelas dengan
amal-amal ribawi yang dilarang Al-Qur’an yang Mulia. Karena bunga bank adalah
muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang pasti yang
terdapat dalam Al-Qur’an tentang pengharaman riba
d. Pendapat A.
Hasan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (Persis) berpendapat bahwa bunga
bank seperti di negara kita ini bukan riba yang diharamkan, karena tidak
bersifat ganda sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 130.
e.
Menurut musyawarah nasional alim ulama NU pada
1992 di Lampung, para ulama NU tidak memutus hukum bunga bank haram mutlak.
Memang ada beberapa ulama yang mengharamkan, tetapi ada juga yang membolehkan
karena alasan darurat dan alasan-alasan lain.
f.
Hasil rapat komisi VI dalam Musyawarah Nasional
(Munas) ke-27 Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang
(UMM) menetapkan, bunga perbankan termasuk riba sehingga di haramkan
4.
Ulama
Hanafiyah, dalam hal rukun dan syarat tentang akad (transaksi) selalu berbeda
dengan pendapat Jumhur Ulama’. Jelaskan letak perbedaannya dan mengapa?
Jawab:
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah Ijab dan
Qabul.Adapun yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya yang menunjang terjadinya
akad tidak dikategorikan rukun sebab keberadaannya sudah pasti.
Ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun,
yaitu:
a.
Orang yang akad (aqid), contoh
penjual dan pembeli
b.
Sesuatu yang diakadkan (maqud
alaih), contoh:harga atau yang dihargakan
c.
Shigat,yaitu ijab dan qabul.
Defenisi ijab menurut ulama hanafiyah adalah penetapan perbuatan
tertentuyang menunjukkan keridaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik
yangmenyerahkan maupun yag menerima, sedangkan qabul adalah orang yag berkatasetelah
orang yang mengucapkan ijab, yag menunjukkan keridaan atasan ucapanorang
pertama.
Berbeda dengan pendapat di atas, ulama selain Hanafiyah
berpendapat bahwaijab adalah pernyataan
yang keluar dari orang yang menyerahkan benda, baikdikatakan oleh orang pertama
atau kedua, sedangkan qabul adalah pernyataan dariorang yang menerima barang.
Pendapat ini merupakan pengertian umum dpahamiorang bahwa ijab adalah ucapan
dari orang yang menyerahkan barang (penjual dalam jual beli), sedangkan
qabul adalah pernyataan dari penerima barang.
5.
Pembagian harta
warisan memerlukan posedur dan metode. Jelaskan dan uraikan;
a.
Konsep Hukum Kewarisan Islam dalam KHI
Jawab:
Menurut Kompilasi Hukum Islam,
Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan
harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi
ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Dalam rumusan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya
disebut KHI) ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam dan
tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Dalam Kompilasi Hukum Islam diatur mengenai masalah-masalah
yang berkaitan dengan :
a. Besarnya Bagian Ahli Waris ( pasal 176-191 ).
b. Tentang Auld an Rad ( pasal 192-193 )
c. Wasiat ( pasal 194-209 )
d. Hibah
a. Besarnya Bagian Ahli Waris ( pasal 176-191 ).
b. Tentang Auld an Rad ( pasal 192-193 )
c. Wasiat ( pasal 194-209 )
d. Hibah
Dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa hal yang menjadi
catatan beberapa orang yang dirasakan kurang lengkap. Misalkan saja, dalam hal
waris persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada penegasan
bahwa perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun mengnai hal ini tidak
diketemukan dalam Kompilasi Hukum Islam. KHI hanya
menegaskan bahwa ahli waris beragama islam pada saat meninggalnya pewaris.
Untuk mengidentifikasi seorang ahli waris beragama islam, terdapat pada psl
172. Disamping itu juga dalam KHI tidak dicantumkan murtad seseorang menjadi
penghalang utama untuk menjadi ahli waris. Adapun porsi perbandingan pembagian
warisan antara bagian wanita dan laki-laki masih dipertahankan secara ketat
perbandingan dua berbanding satu. ketentuan warisan telah dicantumkan
dalam Kompilasi Hukum Islam, namun keinginan-keinginan untuk
memperbaharui KHI ini masih tetap ada.
b.
Metode yang
digunakan dalam kitab klasik
Jawab:
1)
Metode Al-‘Aul
Al-‘aul
menurut istilah fuqoha yaitu bertambahnya jumlah bagian fardh dan berkurangnya
nashib (bagian) para ahli waris.
Hal
ini terjadi ketika makin banyaknya ashabul furudh sehingga harta yang dibaikan
habis, padahal diantara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam keadaan
seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pokok masalahnya sehingga seluru
harta waris dapat mencukupi jumlah ashabul furudh yang ada, meski bagian mereka
menjadi berkurang.
Misalnya
bagian seorang suami yang semestinya mendapat setengah (1/2) dapat berubah
menjadi sepertiga (1/3) dalam keadaan tertentu, seperti bila pokok masalahnya
dinaikkan dari semula enam (6) menjadi Sembilan (9). Maka dalam hal ini seorang
suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 setengah hanya memperoleh 3/9
(sepertiga). Begitu halnya dengan ashabul furudh yang lain, bagian mereka dapa
berjurang manakala pokok masalahya naik atau bertambah.[1]
2)
Metode Ar-Radd
Ar-Radd
menurut istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok masalah dan
bertambahnya/lebihan jumlah bagian ashabul furudh. Ar-Radd merupakan kebalikan
dari Al-‘Aul.
Sebagai
contoh dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para ashabul furudh
telah menerima haknya masing-masing, tetapit ernyata harta warisan itu masih
tersisa, sementara itu tidak ada sosok kerabat lain sebagai ‘ashabah, maka sisa
harta waris itu diberikan atau dikembalikan lagi kepada para ashabul furudh
sesuai dengan bagian mereka masing-masing.
Apabila
dalam suatu keadaan ahli warisnya hanya terdiri dari shahib fardh dengan bagian
yang sama, yakni dari satu jenis saja (misalnya, semuanya berhak mendapat
bagian setengah, atau seperempat, dan seterusnya), dan dalam keadaan itu tidak
terdapat suami atau istri, maka cara pembagianya diitung ber dasarkan jumlah
ahli waris. Hal ini bertujuan untuk menghindari sikap bertele-tele dan agar
lebih cepat sampai pada tujuan dengan cara yang mudah.
Sebagai
misal, seorang wafat dan hanya mininggalkan tiga anak perempuan, maka pokok
masalahnya dari tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka sesuai
fardh adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya mereka terima secara Ar-Radd.
Karena itu pembagian hak masing-masing sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka
merupakan ahli waris dari bagian yang sama.[2]
1.
Al-Gharawain
Masalah
gharawain terjadi hanya dalam dua kemungkinan, yaitu sebagai berikut:
a.
Jika seorang
yang meninggal dunia hana meninggalkan ahli waris (ahli waris yang tinggal):
suami, ibu, dan bapak.
b.
Jika seseorang
yang meninggal dunia hanya meninggalkan (ahli waris yang tinggal): istri, ibu,
bapak.
Apabila ahli waris yang berhak untuk mendapatkan bagian warisan
hanya terdiri atas suami, ibu, dan ayah, dapat dipastikan bahwa persoalan
warisan tersebut adalah persoalan yang khusus yang diistilahkan dengan gharawain.
Adapun penyelesaian kasus dalam masalah gharawain tidaklah
seperti penyelesaian kasus-kasus kewarisan pada umumnya. Apabila diselesaikan
secara biasa hasilnya sebagai berikut:
Ahli waris
|
fard
|
Porsi
|
Asal
masalah=6
|
Suami
|
1
|
12
|
3
|
Ibu
|
1
|
1/3
|
2
|
Ayah
|
1
|
1/6+ashobah
|
1
|
Apabila penyelesaian dilakukan
seperti diatas, terlihatbahwa hasilnya untuk ibu adalah 1/3x6= 2, sedangkan
ayah hanya memperoleh 1. Padahal semestina penerimaan ayah harus lebih besar
dari pada pendapatn ibu. Disamping itu, ayah selain sebagai ashabul furud juga
merupakan ahli waris ang berhak menerima bagian dengan asabah. Jadi persoalan
gharawain ini terletak pda penerimaan ibu yang lebih besar dari pada penerimaan
ayah. Untuk menghilangkan kejanggalan ini, haruslah diselesaikan secara khusus,
yaitu peneriman ibu bukanlah 1/3 harta peninggalan, melainkan hanya 1/3 dari
sisa harta peninggalan.
Adapun yang dimksud dengan sisa harta disini adalah keseuruhan
harta waris setelh dikurangi bagian yang harus diterima ole suami atau bagian
istri. Denga demikian penyelesaiannya adalah adalah sebagai berikut;
Ahli waris
|
Fard
|
Porsi
|
Asal masalah=6
|
Suami
|
1
|
1/2
|
3 (sisa=3)
|
Ibu
|
1
|
1/3 dari sisa
|
1/3x3=1
|
Ayah
|
1
|
1/6+ashobah
|
1+1=2
|
2.
Al-Musyarakah
Persoalan Al-Musyarakah ini juga
merupaka persoalan khusus, yaitu khusus untuk menyelesikan persoalan kewarisan
antara saudara seibu (dalam hal saudara seibu laki-laki dan perempuan saja)
dengan saudara laki-laki seibu sebapak, untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan
bahwa kasus al-musyarakah ini terjadi apabila ahli waris hanya terdiri dari;
1)
Suami
2)
Ibu
3)
Sdr
seibu lebih dari 1 (>1) orang
4)
Sdr
lk seibu sebapak
Contohnya
Ahli waris
|
fard
|
Porsi
|
Asal masalah=6
|
Sumi
|
|
½
|
3
|
Ibu
|
|
1/6
|
1
|
Sdr pr seibu
Sdr lk seibu
|
![]()
2 4
|
1/3
|
2
|
Sdr lk seibu sebapak
|
5
|
Ashobah
|
Nihil
|
Dari penyelesaian diatas terlihat
bhwa saudara seibu memperoleh warisan, sebaliknya saudara laki-laki seibu
sebapak memperoleh bagian yang nilih, karena tidak ada sisa pembagian.
Penyelesaian kasus seperti ini tentunya merupaka suatu kejanggalan, sebab ahli
waris yang hanya merupakan saudara seibu dari si mayat mendapat bagian, sebaliknya saudara si mayat
yang seibu sebapak tidak mendapat bagian sama sekali
Untuk menyelesaikan persoalan ini mka bagilah harta warisan secara
khusus, yaitu dengan cara menyrikatkan seluruh saudara yaitu antara saudara
seibu dengan saudara laki-laki seibu sebapak
Dalam hal ini saudara laki-laki seibu sebapak digabung dengan
saudara seibu, bagian mereka digabung/berserikat tanpa dibedakan antara
laki-laki dengan perempuan, sebab apabila ahli waris saudara seibu maka tidak
lagi dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian penyelesian
kasus ini adalah sebagai berikut;
Ahli waris
|
fard
|
porsi
|
Asal masalah
6x9
|
Sah masalah=54
|
Suami
|
1
|
½
|
3x9
|
27
|
Ibu
|
1
|
1/6
|
1x9
|
9
|
Sdr pr seibu
Sdr lk seibu
Sdr lk seibu sebapak
|
2
2
5
=9
|
1/3
|
2x9
|
18
|