Selasa, 23 Desember 2014

FIQIH MUAMALAH FAROID UAS

Nama                    : Shinta Akhlakul Karimah
NIM                      : D71213135
Kelas/Jurusan      : C / PAI

SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER
FIQIH MUAMALAH FARA’IDH

Jawablah pertanyaan berikut ini dengan ringkas, cermat dan tepat!
1.      Jelaskan ruang lingkup fiqih Muamalah beserta dengan prinsip-prinsipnya!
Jawab:
Ruang lingkup fiqih muamalah terbagi menjadi dua:
a.    Al-Muamalah Al-Adabiyah. Hal-hal yang termasuk Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah ijab kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta.
b.    Al-Muamalah Al-Madiyah
·  Jual beli (Al-bai’ at-Tijarah)
·  Gadai (rahn)
·  Jaminan/ tanggungan (kafalah)
·       Pemindahan utang (hiwalah)
·  Jatuh bangkit (tafjis)
·  Batas bertindak (al-hajru)
·  Perseroan atau perkongsian (asy-syirkah)
·  Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah)
·  Sewa menyewa tanah (al-musaqah al-mukhabarah)
·  Upah (ujral al-amah)
·  Gugatan (asy-syuf’ah)
·  Sayembara (al-ji’alah)
·  Pembagian kekayaan bersama (al-qisamah)
·  Pemberian (al-hibbah)
·  Pembebasan (al-ibra’), damai (ash-shulhu)
·  beberapa masalah mu’ashirah (mukhadisah), seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit, dan masalah lainnnya.[12]
·  Pembagian hasil pertanian (musaqah)
·  Kerjasama dalam perdagangan (muzara’ah)
·  pembelian barang lewat pemesanan (salam/salaf)
·  Pihak penyandang dana meminjamkan uang kepada nasabah/ Pembari modal (qiradh)
·  Pinjaman barang (‘ariyah)
·  Sewa menyewa (al-ijarah)
·  Penitipan barang (wadi’ah)
Peluang ijtihad dalam aspek tersebut diatas harus tetap terbuka, agar hukum Islam senantiasa dapat memberi kejelasan normatif kepada masyarakat sebagai pelaku-pelaku ekonomi.
Adapun prinsip-prinsip dasar fiqih muamalah adalah :
1.    Hukum Asal dalam Muamalah adalah Mubah (diperbolehkan).
Ulama fiqh sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya. Dengan demikian, kita tidak bisa mengatakan bahwa sebuah transaksi itu dilarang sepanjang belum/ tidak ditemukan nash yang secara sharih melarangnya. Berbeda dengan ibadah, hukum asalnya adalah dilarang. Kita tidak bisa melakukan sebuah ibadah jika memang tidak ditemukan nash yang memerintahkannya, ibadah kepada Allah tidak bisa dilakukan jika tidak terdapat syariat dari-Nya.
Allah berfirman: Katakanlah, Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah, Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah? (QS.Yunus:59). Ayat ini mengindikasikan bahwa Allah memberikan kebebasan dan kelenturan dalam kegiatan muamalah, selain itu syariah juga mampu mengakomodir transaksi modern yang berkembang.
2.    Konsen Fiqh Muamalah untuk Mewujudkan Kemaslahatan
Fiqh muamalah akan senantiasa berusaha mewujudkan kemaslahatan, mereduksi permusuhan dan perselisihan di antara manusia. Allah tidak menurunkan syariah, kecuali dengan tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan hidup hamba-Nya, tidak bermaksud memberi beban dan menyempitkan ruang gerak kehidupan manusia. Ibnu Taimiyah berkata: Syariah diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, mengeliminasi dan mereduksi kerusakan, memberikan alternatif pilihan terbaik di antara beberapa pilihan, memberikan nilai maslahat yang maksimal di antara beberapa maslahat, dan menghilangkan nilai kerusakan yang lebih besar dengan menanggung kerusakan yang lebih kecil .
3.    Menetapkan Harga yang Kompetitif
Masyarakat sangat membutuhkan barang produksi, tidak peduli ia seorang yang kaya atau miskin, mereka menginginkan konsumsi barang kebutuhan dengan harga yang lebih rendah. Harga yang lebih rendah (kompetitif) tidak mungkin dapat diperoleh kecuali dengan menurunkan biaya produksi. Untuk itu, harus dilakukan pemangkasan biaya produksi yang tidak begitu krusial, serta biaya-biaya overhead lainnya.
Islam melaknat praktik penimbunan (ikhtikar), karena hal ini berpotensi menimbulkan kenaikan harga barang yang ditanggung oleh konsumen. Rasulullah SAW bersabda: Orang yang men-supply barang akan diberi rizki, dan orang yang menimbunnya akan mendapat laknat dalam hadits lain Rasul bersabda: Sejelek-jelek hamba adalah seorang penimbun, yakni jika Allah (mekanisme pasar) menurunkan harga, maka ia akan bersedih, dan jika menaikkannya, maka ia akan bahagia .
Di samping itu, Islam juga tidak begitu suka (makruh) dengan praktik makelar (simsar), dan lebih mengutamakan transaksi jual beli (pertukaran) secara langsung antara produsen dan konsumen, tanpa menggunakan jasa perantara. Karena upah untuk makelar, pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen. Untuk itu Rasulullah melarang transaksi jual beli hadir lilbad , yakni transaksi yang menggunakan jasa makelar.
Imam Bukhari memberikan komentar bahwa praktik ini akan dapat memicu kenaikan harga yang hanya akan memberatkan konsumen. Dalam hadits lain Rasulullah bersabda: Janganlah kalian melakukan jual beli talaqqi rukban yakni, janganlah kalian menjemput produsen yang sedang berjalan ke pasar di pinggiran kota, kalian membeli barang mereka dan menjualnya kembali di pasaran dengan harga yang lebih tinggi.
4.    Meninggalkan Intervensi yang Dilarang
Islam memberikan tuntunan kepada kaum muslimin untuk mengimani konsepsi qadla dan qadar Allah (segala ketentuan dan takdir). Apa yang telah Allah tetapkan untuk seorang hamba tidak akan pernah tertukar dengan bagian hamba lain, dan rizki seorang hamba tidak akan pernah berpindah tangan kepada orang lain. Perlu disadari bahwa nilai-nilai solidaritas sosial ataupun ikatan persaudaraan dengan orang lain lebih penting daripada sekedar nilai materi. Untuk itu, Rasulullah melarang untuk menumpangi transaksi yang sedang dilakukan orang lain, kita tidak diperbolehkan untuk intervensi terhadap akad atau pun jual beli yang sedang dilakukan oleh orang lain. Rasulullah bersabda: Seseorang tidak boleh melakukan jual beli atas jual beli yang sedang dilakukan oleh saudaranya .
5.    Menghindari Eksploitasi
Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan, dimana Rasulullah bersabda: Sesama orang muslim adalah saudara, tidak mendzalimi satu sama lainnya, barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya, dan barang siapa membantu mengurangi beban sesama saudaranya, maka Allah akan menghilangkan bebannya di hari kiamat nanti .
Semangat hadits ini memberikan tuntunan untuk tidak mengeksploitasi sesama saudara muslim yang sedang membutuhkan sesuatu, dengan cara menaikkan harga atau syarat tambahan yang memberatkan. Kita tidak boleh memanfaatkan keadaan orang lain demi kepentingan pribadi. Untuk itu, Rasulullah melarang melakukan transaksi dengan orang yang sedang sangat membutuhkan (darurat) , Allah berfirman: dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangan (QS. Al Araf:85).
6.    Memberikan Kelenturan dan Toleransi
Toleransi merupakan karakteristik dari ajaran Islam yang ingin direalisasikan dalam setiap dimensi kehidupan. Nilai toleransi ini bisa dipraktikkan dalam kehidupan politik, ekonomi atau hubungan kemasyarakatan lainnya. Khusus dalam transaksi finansial, nilai ini bisa diwujudkan dengan memper-mudah transaksi bisnis tanpa harus memberatkan pihak yang terkait. Karena, Allah akan memberikan rahmat bagi orang yang mempermudah dalam transaksi jual beli.
Selain itu, kelenturan dan toleransi itu bisa diberikan kepada debitur yang sedang mengalami kesulitan finansial, karena bisnis yang dijalankan sedang mengalami resesi. Melakukan re-scheduling piutang yang telah jatuh tempo, disesuaikan dengan kemapanan finansial yang diproyeksikan. Di samping itu, tetap membuka peluang bagi para pembeli yang ingin membatalkan transaksi jual beli, karena terdapat indikasi ke-tidak-butuh-annya terhadap obyek transaksi (inferior product).
7.    Jujur dan Amanah
Kejujuran merupakan bekal utama untuk meraih keberkahan. Namun, kata jujur tidak semudah mengucapkannya, sangat berat memegang prinsip ini dalam kehidupan. Seseorang bisa meraup keuntungan berlimpah dengan lipstick kebohongan dalam bertransaksi. Sementara, orang yang jujur harus menahan dorongan materialisme dari cara-cara yang tidak semestinya. Perlu perjuangan keras untuk membumikan kejujuran dalam setiap langkah kehidupan.
Kejujuran tidak akan pernah melekat pada diri orang yang tidak memiliki nilai keimanan yang kuat. Seseorang yang tidak pernah merasa bahwa ia selalu dalam kontrol dan pengawasan Allah SWT. Dengan kata lain, hanyalah orang-orang beriman yang akan memiliki nilai kejujuran. Untuk itu, Rasulullah memberikan apresiasi khusus bagi orang yang jujur, Seorang pedagang yang amanah dan jujur akan disertakan bersama para Nabi, siddiqin (orang jujur) dan syuhada .
Satu hal yang bisa menafikan semangat kejujuran dan amanah adalah penipuan (ghisy). Dalam konteks bisnis, bentuk penipuan ini bisa diwujudkan dengan melakukan manipulasi harga, memasang harga tidak sesuai dengan kriteria yang sebenarnya. Menyembunyikan cacat yang bisa mengurangi nilai obyek transaksi. Dalam hal ini, Rasulullah bersabda, Tidak dihalalkan bagi pribadi muslim menjual barang yang diketahui terdapat cacatnya, tanpa ia memberikan informasinya .
Sebenarnya, masih terdapat beberapa prinsip pokok yang harus diperhatikan dalam kehidupan muamalah. Di antaranya, menjauhi adan       ya gharar dalam transaksi, ketidakjelasan (uncertainty) yang dapat memicu perselisihan dan pertengkaran dalam kontrak bisnis. Semua kesepakatan yang tertuang dalam kontrak bisnis harus dijelaskan secara detil, terutama yang terkait dengan hak dan kewajiban, karena hal ini berpotensi menimbulkan konflik.
Ketika kontrak bisnis telah disepakati, masing-masing pihak terkait harus melakukan kewajiban yang merupakan hak bagi pihak lain, dan sebaliknya. Sebisa mungkin dihindari terjadinya wan prestasi. Memiliki komitmen untuk menjalankan kesepakatan yang tertuang dalam kontrak bisnis. Allah berfirman dalam QS al-Maidah ayat 1. Dan yang terpenting, dalam menjalankan kontrak bisnis harus dilakukan secara profesional. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, Sesungguhnya Allah menyukai seorang hamba yang profesional dalam menjalankan pekerjaannya .

2.      Islam membolehkan mengkonsumsi hal-hal yang diharamkan dalam kondisi darurat, misalnya memakan daging babi. Jelaskan dan uraikan;
a.      Dasar hukum baik ‘Aqli maupun Naqli, pengharaman memakan daging babi,
Jawab:
Diantara hewan yang diharamkan untuk dimakan adalah babi dan ini sudah merupakan kesepakatan kaum muslimin. Sebab pelarangan memakan daging babi sudah dijelaskan dalam al-quran dan al-sunnah. Diantaranya :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. AL BAQARAH [1] : 173
            Dalam ayat lain Allah berfirman :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah” (QS AL MAIDAH : 3)
            Dalam ayat lain Allah berfirman :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barang siapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS AN-NAHL  : 115)
Demikian juga sabda Rasulullah :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ وَثَمَنَهُ
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamr dan hasil penjualannya dan mengharamkan bangkai dan hasil penjualannya serta mengharamkan babi dan hasil penjualannya.” (HR. Abu Daud)
Dengan demikian jelaslah haramnya daging babi dan seluruh anggota tubuhnya. (Ibnu Hazm menandaskan hukum ini merupakan ijma’ dalam kitabAl Muhalla 7/390-430)

b.      Diperbolehkannya memakan daging babi dalam keadaan darurat, perspektif empat mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi’I dan hambali).
Jawab:
Darurat yang sudah disepakati oleh semua ulama adalah darurat dalam masalah makanan karena ditahan oleh kelaparan. Sementara ulama memberi batas darurat itu berjalan sehari semalam orang tidak mendapatkan makanan kecuali barang-barang yang diharamkan it. Waktu itu orang tersebut boleh makan sekedarnya sesuai denga  dorongan darurat itu dan guna menjaga diri dari bahaya. Imam Malik memberikan suatu pembatasan, yaitu sekedar kenyang dan boleh menyimpannya sehingga mendapatkan makanan yang lain. Ahli fiqih yang lain berpendapat bahwa orang tidak boleh makan, kecuali sekedar dapat mempertahankan sisa hidupnya. Barangkali di sinilah jelasnya apa yang dimaksud dalam firman Allah swt ghairu baghin wala ‘adin (dengan tidak sengaja dan melewati batas) itu.
Perkataan ghairu baghin berarti tidak mencari-cari alasan untuk memenuhi keinginann (seleranya), sedangkan yang dimaksud adalah wala ‘adin adalah tidak melewati batas ketentuan darurat. Adapun yang dimaksud dengan daruratnya lapar adalah seperti yang dijelaskan Allah swt dalam firmannya;
فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
3.      Perdebatan tentang Riba dan Bunga Bank dari dulu dan sekarang terus berlangsung. Bagaimana pendapat anda tentang;
a.      Persamaan dan perbedaan antara Riba dan Bunga Bank
Jawab:
Persamaan Riba dan Bunga Bank
      Perkembangan ekonomi kapitalis, perumus konsep bunga yang telah mengakar dan serta telah merasuk didalam sendi-sendi system berekonomi masyarakat dunia, telah memasung alam piker seseorang, sehingga menganggap praktek pembungaan pada setiap pinjaman atau transaksi hutang piutang adalah suatu hal yang wajar dan selayaknya untuk dilakukan. Rasionalitas pola piker yang di bangun oleh mereka telah mengenyampingkan nilai keadilan yang seharusnya sebagai prinsip dasar dalam melakukan kegiatan ekonomi. Sehingga tidak menimbulkan salah satu diantaranya teraniaya.
      Dari pengertian bunga dan riba yang sudah dijelaskan maka dapat disimpulkan bahwa bunga dapat di kategorikan dalam praktek riba kareja dalam pengertian dan praktek bunga di jelaskan dengan penambahan harta pokok sama seperti praktik riba.

Perbedaan riba dan bunga bank
Perbedaan pendapat diantara para ulama tentang bunga bank, diantaran perbedaan pendapat itu disimpulkan oleh Prof.Drs. Masjfuk Zuhdi, adalah sebagai berikut;
1)      Pendapat Syekh Abu Zahra, guru besar pada fakultas hukum Universitas Cairo. Abul A’la Al-Maududi (Pakistan), Muhammad Abdullah Al-Arabi, penasihat hukum pada islamic Congress Cairo, dan lain-lain, menyatakan bahwa bunga bank termasuk riba nasi’ah yang dilarang islam.
2)      Pendapat A.Hasan, pendiri pesantren Bangil (Persis), bahwa bunga bank, seperti dinegeri kita ini bukan riba yang diharamkan karena tidak bersifat ganda sebagaimana dinyatakan dalam sural Ali Imran(3);130.
3)      Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo JATIM tahun 1968, memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank negara kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya, termasuk syubhat atau mutasyabih, artinya belum jelas halal dan haramnya. Sesuai dengan petunjuk hadis, kita harus berhati-hati menghadapi masalah yang masih syubhat. Oleh karena itu, jika kita dalam keadaan terpaksa atau dalam keadaan hajah, artinya keperluan yang mendesak atau penting, barulah kita diperoleh bermuamalah dengan bank dengan sistem bunga itu sekedar saja.
4)      Menurut Lajnah Bahsul Masa’il Nahdhatul Ulama, hukum bank dan hukum bunganya sama seperti hukum gadai.  Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan dengan masalah ini, diantaranya. Pertama Haram, sebab termasuk utang yang dipungut rentenir. Kedua Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sedangkan adat yang berlaku, tidak dapat begitu saja dijadikan syarat. Ketiga Syubhat (tidak tentu halal haramnya), sebab para ahli hukum berselisih pendapat tentangnya.  Meskipun ada perbedaan pandangan, Lajnah memutuskan bahwa (pilihan) yang lebih berhati-hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga bank adalah haram.





b.      Perbedaan pendapat beberapa ulama tentang bunga bank
Jawab:
a.       Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama’ sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama’ terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank. Berbagai forum ulama internasional yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman bunga bank.
b.       Abu zahrah, Abu ‘ala al-Maududi Abdullah al-‘Arabi dan Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa bunga bank itu termasuk riba nasiah yang dilarang oleh Islam. Karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai system bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa. Bahkan menurut Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah darurat atau terpaksa, tetapi secara mutlak beliau mengharamkannya. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Syirbashi, menurutnya bahwa bunga bank yang diperoleh seseorang yang menyimpan uang di bank termasuk jenis riba, baik sedikit maupun banyak. Namun yang terpaksa, maka agama itu membolehkan meminjam uang di bank itu dengan bunga.
c.        Dr. Sayid Thantawi yang berfatwa tentang bolehnya sertifikat obligasi yang dikeluarkan Bank Nasional Mesir yang secara total masih menggunakan sistem bunga, dan ahli lain seperti Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir dalam buku Sikap Syariah Islam terhadap Perbankan mengatakan, “Perkataan yang benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan Islam tanpa ditopang dengan kekuatan perekonomian, dan tidak ada kekuatan perekonomian tanpa ditopang perbankan, sedangkan tidak ada perbankan tanpa riba. Ia juga mengatakan, “Sistem ekonomi perbankan ini memiliki perbedaan yang jelas dengan amal-amal ribawi yang dilarang Al-Qur’an yang Mulia. Karena bunga bank adalah muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang pasti yang terdapat dalam Al-Qur’an tentang pengharaman riba
d.       Pendapat A. Hasan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (Persis) berpendapat bahwa bunga bank seperti di negara kita ini bukan riba yang diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 130.
e.        Menurut musyawarah nasional alim ulama NU pada 1992 di Lampung, para ulama NU tidak memutus hukum bunga bank haram mutlak. Memang ada beberapa ulama yang mengharamkan, tetapi ada juga yang membolehkan karena alasan darurat dan alasan-alasan lain.
f.        Hasil rapat komisi VI dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-27 Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menetapkan, bunga perbankan termasuk riba sehingga di haramkan

4.      Ulama Hanafiyah, dalam hal rukun dan syarat tentang akad (transaksi) selalu berbeda dengan pendapat Jumhur Ulama’. Jelaskan letak perbedaannya dan mengapa?
Jawab:
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah Ijab dan Qabul.Adapun yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya yang menunjang terjadinya akad tidak dikategorikan rukun sebab keberadaannya sudah pasti.
Ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun, yaitu:
a.       Orang yang akad (aqid), contoh penjual dan pembeli
b.      Sesuatu yang diakadkan (maqud alaih), contoh:harga atau yang dihargakan
c.       Shigat,yaitu ijab dan qabul.
Defenisi ijab menurut ulama hanafiyah adalah penetapan perbuatan tertentuyang menunjukkan keridaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yangmenyerahkan maupun yag menerima, sedangkan qabul adalah orang yag berkatasetelah orang yang mengucapkan ijab, yag menunjukkan keridaan atasan ucapanorang pertama.
Berbeda dengan pendapat di atas, ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwaijab  adalah pernyataan yang keluar dari orang yang menyerahkan benda, baikdikatakan oleh orang pertama atau kedua, sedangkan qabul adalah pernyataan dariorang yang menerima barang. Pendapat ini merupakan pengertian umum dpahamiorang bahwa ijab adalah ucapan dari orang yang menyerahkan barang (penjual dalam jual beli), sedangkan qabul adalah pernyataan dari penerima barang.

5.      Pembagian harta warisan memerlukan posedur dan metode. Jelaskan dan uraikan;
a.      Konsep Hukum Kewarisan Islam dalam KHI
Jawab:
Menurut Kompilasi Hukum Islam, Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Dalam rumusan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Dalam Kompilasi Hukum Islam diatur mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan :
a. Besarnya Bagian Ahli Waris ( pasal 176-191 ).
b. Tentang Auld an Rad ( pasal 192-193 )
c. Wasiat ( pasal 194-209 )
d. Hibah
Dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa hal yang menjadi catatan beberapa orang yang dirasakan kurang lengkap. Misalkan saja, dalam hal waris persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada penegasan bahwa perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun mengnai hal ini tidak diketemukan dalam Kompilasi Hukum Islam. KHI hanya menegaskan bahwa ahli waris beragama islam pada saat meninggalnya pewaris. Untuk mengidentifikasi seorang ahli waris beragama islam, terdapat pada psl 172. Disamping itu juga dalam KHI tidak dicantumkan murtad seseorang menjadi penghalang utama untuk menjadi ahli waris. Adapun porsi perbandingan pembagian warisan antara bagian wanita dan laki-laki masih dipertahankan secara ketat perbandingan dua berbanding satu. ketentuan warisan telah dicantumkan dalam Kompilasi Hukum Islam, namun keinginan-keinginan untuk memperbaharui KHI ini masih tetap ada.

b.      Metode yang digunakan dalam kitab klasik
Jawab:
1)      Metode Al-‘Aul
Al-‘aul menurut istilah fuqoha yaitu bertambahnya jumlah bagian fardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris.
Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashabul furudh sehingga harta yang dibaikan habis, padahal diantara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pokok masalahnya sehingga seluru harta waris dapat mencukupi jumlah ashabul furudh yang ada, meski bagian mereka menjadi berkurang.
Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat setengah (1/2) dapat berubah menjadi sepertiga (1/3) dalam keadaan tertentu, seperti bila pokok masalahnya dinaikkan dari semula enam (6) menjadi Sembilan (9). Maka dalam hal ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 setengah hanya memperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu halnya dengan ashabul furudh yang lain, bagian mereka dapa berjurang manakala pokok masalahya naik atau bertambah.[1]
2)      Metode Ar-Radd
Ar-Radd menurut istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya/lebihan jumlah bagian ashabul furudh. Ar-Radd merupakan kebalikan dari Al-‘Aul.
Sebagai contoh dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para ashabul furudh telah menerima haknya masing-masing, tetapit ernyata harta warisan itu masih tersisa, sementara itu tidak ada sosok kerabat lain sebagai ‘ashabah, maka sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan lagi kepada para ashabul furudh sesuai dengan bagian mereka masing-masing.
Apabila dalam suatu keadaan ahli warisnya hanya terdiri dari shahib fardh dengan bagian yang sama, yakni dari satu jenis saja (misalnya, semuanya berhak mendapat bagian setengah, atau seperempat, dan seterusnya), dan dalam keadaan itu tidak terdapat suami atau istri, maka cara pembagianya diitung ber dasarkan jumlah ahli waris. Hal ini bertujuan untuk menghindari sikap bertele-tele dan agar lebih cepat sampai pada tujuan dengan cara yang mudah.
Sebagai misal, seorang wafat dan hanya mininggalkan tiga anak perempuan, maka pokok masalahnya dari tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka sesuai fardh adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya mereka terima secara Ar-Radd. Karena itu pembagian hak masing-masing sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris dari bagian yang sama.[2]
1.      Al-Gharawain
Masalah gharawain terjadi hanya dalam dua kemungkinan, yaitu sebagai berikut:
a.       Jika seorang yang meninggal dunia hana meninggalkan ahli waris (ahli waris yang tinggal): suami, ibu, dan bapak.
b.      Jika seseorang yang meninggal dunia hanya meninggalkan (ahli waris yang tinggal): istri, ibu, bapak.
Apabila ahli waris yang berhak untuk mendapatkan bagian warisan hanya terdiri atas suami, ibu, dan ayah, dapat dipastikan bahwa persoalan warisan tersebut adalah persoalan yang khusus yang diistilahkan dengan gharawain.
Adapun penyelesaian kasus dalam masalah gharawain tidaklah seperti penyelesaian kasus-kasus kewarisan pada umumnya. Apabila diselesaikan secara biasa hasilnya sebagai berikut:
Ahli waris
fard
Porsi
Asal masalah=6
Suami
1
12
3
Ibu
1
1/3
2
Ayah
1
1/6+ashobah
1

Apabila penyelesaian dilakukan seperti diatas, terlihatbahwa hasilnya untuk ibu adalah 1/3x6= 2, sedangkan ayah hanya memperoleh 1. Padahal semestina penerimaan ayah harus lebih besar dari pada pendapatn ibu. Disamping itu, ayah selain sebagai ashabul furud juga merupakan ahli waris ang berhak menerima bagian dengan asabah. Jadi persoalan gharawain ini terletak pda penerimaan ibu yang lebih besar dari pada penerimaan ayah. Untuk menghilangkan kejanggalan ini, haruslah diselesaikan secara khusus, yaitu peneriman ibu bukanlah 1/3 harta peninggalan, melainkan hanya 1/3 dari sisa harta peninggalan.
Adapun yang dimksud dengan sisa harta disini adalah keseuruhan harta waris setelh dikurangi bagian yang harus diterima ole suami atau bagian istri. Denga demikian penyelesaiannya adalah adalah sebagai berikut;
Ahli waris
Fard
Porsi
Asal masalah=6
Suami
1
1/2
3 (sisa=3)
Ibu
1
1/3 dari sisa
1/3x3=1
Ayah
1
1/6+ashobah
1+1=2
 
2.      Al-Musyarakah
Persoalan Al-Musyarakah ini juga merupaka persoalan khusus, yaitu khusus untuk menyelesikan persoalan kewarisan antara saudara seibu (dalam hal saudara seibu laki-laki dan perempuan saja) dengan saudara laki-laki seibu sebapak, untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan bahwa kasus al-musyarakah ini terjadi apabila ahli waris hanya terdiri dari;
1)      Suami
2)      Ibu
3)      Sdr seibu lebih dari 1 (>1) orang
4)      Sdr lk seibu sebapak
Contohnya
Ahli waris
fard
Porsi 
Asal masalah=6
Sumi

½
3
Ibu

1/6
1
Sdr pr seibu
Sdr lk seibu
2
2      4
1/3
2
Sdr lk seibu sebapak
5
Ashobah
Nihil

Dari penyelesaian diatas terlihat bhwa saudara seibu memperoleh warisan, sebaliknya saudara laki-laki seibu sebapak memperoleh bagian yang nilih, karena tidak ada sisa pembagian. Penyelesaian kasus seperti ini tentunya merupaka suatu kejanggalan, sebab ahli waris yang hanya merupakan saudara seibu dari si mayat  mendapat bagian, sebaliknya saudara si mayat yang seibu sebapak tidak mendapat bagian sama sekali
Untuk menyelesaikan persoalan ini mka bagilah harta warisan secara khusus, yaitu dengan cara menyrikatkan seluruh saudara yaitu antara saudara seibu dengan saudara laki-laki seibu sebapak
Dalam hal ini saudara laki-laki seibu sebapak digabung dengan saudara seibu, bagian mereka digabung/berserikat tanpa dibedakan antara laki-laki dengan perempuan, sebab apabila ahli waris saudara seibu maka tidak lagi dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian penyelesian kasus ini adalah sebagai berikut;
    
Ahli waris
fard
porsi
Asal masalah
6x9
Sah masalah=54
Suami
1
½
3x9
27
Ibu
1
1/6
1x9
9
Sdr pr seibu
Sdr lk seibu
Sdr lk seibu sebapak
2
2
5
       =9

1/3

2x9

18






[1] Muhammad ali ash shabuni, hukum waris dalam islam, (Depok: PT Palapa Alta Utama, 2013), 100-101
[2] Ibid, 110-111.